Bahasa dan Kuasa dalam Novel Anak Sejuta Bintang

Novel sebagai sebuah teks dapat dilihat dari berbagai sudut, salah satunya dengan memakai kacamata analisis wacana kritis atau critical discourse analysis, yang oleh Fairclough dikatakan memiliki tujuan “…to systematically explore often opaque relationships of causality and determination between (a) discursive practices, events and texts, and (b) wider social and cultural structures, relations and processes; to investigate how such practices, events and texts arise out of and are ideologically shaped by relation of power and struggles over power (Fairclough, 1995). Dengan demikian, novel dapat dianggap sebagai manifestasi relasi antara teks itu sendiri dengan struktur sosial dan budaya sebagai latarnya, melalui bahasa.

Tulisan ini mencoba melihat beberapa peristiwa yang dialami Ical, sang tokoh utama, yang dengan bahasanya baik verbal maupun non-verbal menunjukkan kepemilikan kuasa tersebut. Dengan latar waktu sekitar tahun 1950-an, pemaparan mengenai keadaan sosial keluarga menjadi awal pijakan pemikiran bahwa kekayaan yang dimiliki membuatnya menjadi sang pemilik kuasa.

Digambarkan dalam novel ini bahwa keluarga Ical adalah keluarga kaya, dengan mobil yang mengantarkannya ke sekolah dan villa sebagai tempatnya berlibur. Untuk bisa berlibur di villa, yang letaknya dekat dengan istana presiden, tentu tak  dilakukan sembarang orang pada jaman itu. Dengan keadaan yang demikian, Ical kecil bisa melakukan dan mendapatkan sesuatu yang mustahil bagi orang lain pada masa itu. :  memanggil dokter pribadi jika sakit (hlm. 64-65), masuk ke istana presiden (hlm. 86), berlibur ke villa setiap pekan (91), sepatu kulit untuk ke sekolah semasa masih di taman kanak-kanak (hlm. 95), sepeda mini yang tinggal pilih dan tunjuk mana yang sesuai selera sebagai syarat mau memakai peci (hlm. 156-157), berlatih judo (hlm. 246), apel dan anggur yang menumpuk di kulkas (hlm. 268), bintang tamu di acara radio (hlm. 277), pergi ke Singapura (hlm. 305) dan liburan ke mana saja sebagai hadiah lulus sekolah (hlm. 389) .

Sebagai pembaca dan seorang ibu, saya tidak melihat kentalnya nilai pendidikan sebagaimana dituliskan di bagian endorsement buku ini. Dari sisi Ical, justru ada beberapa hal yang kurang mendidik, misalnya saat ia memberikan amplop kepada anak buah papanya karena telah membantunya, yang terlihat dalam kutipan berikut.

“Buat ongkos, Om,”  bisiknya sambil memasukkan amplop itu ke saku kanan celana yang dipakai Hasan. “Ingat, Papa dan Mama tidak boleh tahu rencana ini!” (hlm. 346).

Perilaku seperti ini bukan cara yang positif karena akan tertanam dalam benak si anak bahwa ia akan mendapatkan apapun yang diinginkannya asal ia menyediakan imbalan.

Jika dimaksudkan sebagai referensi pendidikan yang patut dibaca guru, orang tua dan pendidik sebagaimana tertulis di halaman awal, tulisan yang terangkai dalam 23 bab dan tersaji dalam 400 halaman ini kurang memainkan perannya. Bahkan ketika Ical kecil menjadi juara kedua, pemaparan di halaman 386-389 justru memberikan kesan sebaliknya.

Teks terkait dengan konteks dan akan saling memengaruhi. Teks dapat dibentuk sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, seperti diutarakan oleh Locke (2004) yang menggambarkan teks sebagai sesuatu yang bersifat relatif, dapat dikonstruksi dan diubah. Nah, siapa yang bisa mengkonstruksi dan mengubah? Tentulah bukan saya, karena saya hanya pembaca.

Judul buku: Anak Sejuta Bintang
Penulis: Akmal Nasery Basral
Penyunting: Khrisna Pabichara
Penerbit: Expose (2012)

4 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here