Kemarin beberapa orang meributkan Pasal 28 Undang-undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta lagu Kebangsaan. Salah satunya bahkan menambahkan komentar, bahwa yang tertulis itu adalah dari Undang-undang Dasar 1945. Jauh sekali: dari 2009 ke 1945. Barangkali orang itu tidak sempat baca, tidak mau, tidak peduli atau tidak bisa.
Pagi ini, saya membaca berita tentang Ridwan Kamil, Walikota Bandung, yang memberikan pidatonya dalam acara World Mayor Summit di New York. Dalam acara yang berlangsung kemarin, 15 Juni 2015, itu ia menggunakan bahasa Inggris. Tapi, tak ada yang membuat gambar serupa.
Ada dua hal yang tak saya pahami. Pertama, pasal itu dikaitkan dengan pidato Jokowi dalam forum APEC, yang notabene forum petinggi negara di tingkat internasional di Beijing tahun lalu dan bahasa resminya adalah Bahasa Inggris dan bahasa Cina. Kedua, ada beberapa pasal dalam undang-undang itu yang memang perlu penjelasan lebih lanjut. Pasal 28, 32, dan 36 misalnya. Baiklah. Mari kita lihat satu per satu.
Pertama, pemaksaan penggunaan bahasa Indonesia di forum internasional, di luar negeri, oleh siapapun, adalah sesuatu yang konyol. Bagaimana jika yang kita hadapi tidak menguasai bahasa Indonesia? Bagaimana jika tidak tersedia fasilitas juru bahasa yang ada dalam bilik-bilik kecil di ruang konferensi itu? Yang paling penting, bagaimana kita bisa mengabarkan kepada dunia mengenai hal-hal baik tentang Indonesia?
Mereka yang membuat gambar itu mungkin lupa, bahwa Presiden Sukarno menguasai bahasa asing. Benjamin Higgins, yang pernah menyaksikannya berpidato, dalam bukunya All the Difference: A Development Economist’s Quest menuliskan betapa penguasaan Sukarno atas tujuh bahasa memukau banyak kalangan.
Sukarno ‘s charm, style, wit and charisma are legendary – so are his linguistic capacities: he liked to use six or seven languages in his major speeches, always quoting other people in their original language. His brilliance as an orator is also well known.
Ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan saat ini, Anis Baswedan, seusai penganugerahan beasiswa BMW di kampus Pascasarjana UI bulan Oktober 2011. Ia meengatakan bahwa pemuda Indonesia harus menguasai bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.
Penguasaan bahasa asing sangat penting untuk keperluan diplomasi dan diseminasi informasi. Pesan yang kita sampaikan akan diterima dengan tepat jika kita sebagai penutur bisa menyampaikan dalam bahasa yang mudah dimengerti pendengar. Dalam bahasa tulis, tentu relasi ini terjadi antara penulis dan pembaca. Nah, dalam forum internasional di luar negeri, manakah yang lebih efektif: bahasa Indonesia atau bahasa asing (Inggris)?
Kedua, beberapa pasal dalam undang-undang ini memuat informasi yang tumpang tindih. Pasal 32 ayat (1), misalnya, berbunyi “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia.” Ayat (2) pasal ini berbunyi “Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri.” Bandingkan pasal 28.
Jaman sudah demikian maju. Batas makin samar, tapi sebagian dari kita masih asyik membatasai diri. Bahasa memang berfungsi menunjukkan identitas, tapi bukan berarti memaksakan harus memakai bahasa kita di manapun kita berada.
Hidup memang soal pilihan. Termasuk dalam hal berbangga sebagai orang Indonesia. Pilih mana: bangga ketika bicara di forum internasional dalam bahasa Inggris dan orang-orang di hadapan kita tahu benar bahwa kita dari Indonesia dan memiliki kecakapan linguistik yang kompeten atau bicara dalam bahasa Indonesia sementara mereka tidak paham apa yang kita sampaikan? Saya pilih yang pertama.