Belajar dari Maleficent

Saya kenal nama Maleficent sebagai tokoh antagonis dalam kisah Sleeping Beauty. Itu dulu, sejak saya masih anak-anak. Sampai kemudian tokoh Maleficent ini menjadi perbincangan teman-teman karena kebaikan hatinya.

Film Maleficent melihat seseorang, dengan stigma yang buruk, dari sisi lain yaitu cinta dan kemanusiaan. Digambarkan, Maleficent menjadi jahat karena keadaan yang memaksanya. Kekecewaan dan pengkhianatan membuatnya melakukan perbuatan jahat. Namun, kemudian ia menyesal telah memberikan kutukan kepada Putri Aurora dan berusaha membatalkan kutukannya.     

Ini memang film ringan, dengan cerita yang sederhana. Kisah versi awalnya pun sudah sangat dikenal. Namun, dengan menyuguhkannya dari sisi yang berbeda, ada hal menarik yang bisa dicermati. Manusia memang bisa berubah karena keadaan, tapi nurani tak bisa diingkari. Jika baik, baiklah.

Film dan cerita rakyat sebagai wacana tentu sangat mungkin digunakan sebagai media sosialisasi mengenai sesuatu (hidden agenda). Normaliza Abd Rahim (2014) melakukan penelitian mengenai cerita rakyat Malaysia yang hampir dilupakan oleh generasi muda. Keprihatinan muncul karena gencarnya serbuan cerita dan film dari luar. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa film dan cerita rakyat memang sebaiknya diintegrasikan ke dalam kelas bahasa dan budaya, sejak pendidikan dasar.

Itu di Malaysia. Bagaimana dengan di Indonesia? Saya kira sama saja. Film dan cerita sangat efektif digunakan sebagai media belajar. Proses belajar dengan pendekatan bottom-up dan top-down sangat mungkin diterapkan dengan bantuan film dan cerita.

Hari ini saya belajar, kebetulan bukan dari film Indonesia, bahwa sifat baik ada di setiap orang. Terima kasih teman-teman baik yang sudah menemani saya nonton kali ini: @adiwkf dan @indriguli.

gambar: @waltdisneystudios

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here