Beberapa hari ini di media sosial ramai dibicarakan jawaban PR matematika seoraang siswa SD bernama Habibi, yang diunggah oleh kakaknya, Muhammad Erfas Maulana. Berita ini menuai pro dan kontra. Sebagian menyalahkan jawaban Habibi, sebagian lagi menyalahkan gurunya. Ada yang menjelaskannya dengan dasar konsep, ada pula yang latah ikut ramai dan membagi tautan cerita itu dan memberikan komentar sesuai sudut pandangnya.
Jika melihat hasilnya, 4 x 6 dan 6 x 4 tentu sama. Lalu, apa bedanya? Katanya, bedanya di konsep yang sedang dibahas. Saya bukan ahli matematika, jadi lebih baik saya tidak menjawab pertanyaan itu. Tapi, bolehlah saya berbagi cerita lain masih seputar belajar konsep.
Jadi gini…
Peristiwa ini terjadi beberapa tahun lalu, ketika anak sulung saya masih kelas empat SD. Suatu hari ia pulang dengan membawa PR Bahasa Indonesia. Salah satu pertanyaannya adalah, “Apa kata dasar dari mentertawakan?” Soal pilihan ganda itu menawarkan opsi: tawa, tertawa, dan tertawakan. Anak saya menjawab tawa, sementara saya menyarankan tertawa. Tentu saya menjelaskan juga alasannya, berdasarkan beberapa referensi yang saya baca.
Seperti biasa, esok paginya ia berangkat sekolah dengan riang. Sekolah selalu menyenangkan buatnya. Namun pemandangan tak lagi sama ketika ia pulang siang harinya. Ia murung dan kesal. Ternyata, jawaban PR-nya salah dan ia adalah satu-satunya yang menjawab demikian.
Saya menulis surat kepada gurunya untuk menanyakan hal ini. Gurunya menjawab, juga melalui surat, bahwa begitulah yang ia baca di kamus bahasa Indonesia. Saya menulis surat kedua, dengan lampiran salinan halaman Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga yang saya miliki, yang memuat penjelasan mengenai kata dasar, yaitu halaman 514. Begini bunyinya: kata dasar adalah kata-kata yang menjadi dasar bentukan kata yang lebih besar. Misalnya, kata jual menjadi dasar bentuk jualan, kata jualan menjadi dasar bentukan kata berjualan.
Saya mendapatkan kesempatan bertemu dengan gurunya ini di akhir tahun ajaran dan kalimat yang disampaikannya masih terngiang hingga kini. Ia mengatakan, “Walaupun jawaban putra ibu benar tapi jika hanya putra ibu yang saya betulkan sementara teman sekelasnya saya salahkan, apa kata para orang tua? Biarlah sekarang ia belajar seperti ini. Tak masalah yang mereka tahu itu sesuatu yang salah, nanti jika sudah dewasa baru dia belajar konsep yang lebih mendalam bu.”
Saya sedih dan prihatin mendengar kalimat itu. Masalah ini jadi panjang meski akhirnya selesai juga dengan menyisakan PR buat saya untuk menjelaskan sikap gurunya itu kepada anak saya.
Nah, jadi, apakah penguasaan mengenai suatu konsep itu demikian penting? Dalam kasus saya ini, ya.
Ibarat diajari korupsi dulu karena mayoritas melakukan perbuatan itu, dengan harapan di kemudian hari si anak tahu dengan sendirinya jika korupsi itu tidak benar. 🙁
Salam persahablogan,
@adiwkf
begitulah