Akhirnya selesai juga saya membaca Anak Bukan Kertas Kosong anggitan mas Bukik Setiawan (@bukik) ini, setelah tertunda karena tiga perjalanan ke luar kota yang menyisakan sedikit sekali waktu untuk membaca. Bukunya sih ikut ke mana-mana, tapi kenikmatan membaca sama sekali tak ada karena padatnya acara.
Saya selalu tertarik dengan isu pendidikan dan pengajaran, dan membaca buku ini seakan menemukan pembenaran mengenai banyak hal. Saya sepenuhnya setuju dengan pembahasan mengenai besarnya peran keluarga dan orangtua dalam pendidikan anak-anaknya. Orangtualah yang paling memahami keadaan anak-anaknya. Guru memang membantu mengembangkan potensi, namun peran terbesar tetap ada pada orangtua.
Keluarga adalah pusat pendidikan. Orangtua mungkin bisa mendelegasikan pengajaran pada kaum ahli, tetapi pendidikan anak tetaplah menjadi tanggung jawab orangtua. Peran orangtua tidak tergantikan oleh sekolah, lembaga pendidikan, ataupun lembaga bakat. (halaman xxv)
Dengan sistem pendidikan konvensional, semua siswa dianggap dan diperlakukan sama. Mereka diajar dan dididik dengan cara yang seragam dan dites dengan perangkat tes yang sama pula. Ini tidak adil, karena mereka memiliki bekal potensi dan cara belajar masing-masing. Sayangnya, banyak yang tak melihat pentingnya hal ini.
Saat anak memilih minat, materi, dan cara belajarnya sendiri, sistem pendidikan konvensional akan memberi ia label sebagai anak nakal, bandel, bodoh, tidak naik kelas, tidak lulus, dan sebagainya. (halaman 36).
Saya jadi ingat, ketika anak saya duduk di bangku kelas tiga SD, salah seorang gurunya menyampaikan bahwa ia sama sekali tidak memperhatikan ketika sang guru menerangkan. Anak saya lebih suka mencorat-coret sesuatu di bukunya. Sang guru ini tidak berkenan dan anak saya dianggap tidak menurut, meski anak saya mendapat nilai tertinggi di kelas untuk mata pelajaran itu. Sayang sekali. Bukankah seharusnya ia paham bahwa setiap siswa punya cara belajarnya sendiri?
Fokus pada keistimewaan anak membuat belajar menjadi proses yang menyenangkan. Belajar yang menyenangkan membuat anak relatif tergerak sendiri untuk melakukan pebelajaran sehingga terbentuk budaya gemar belajar, yang sangat mungkin tertanam sepanjang hayatnya. Kemauan belajar seperti ini penting untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang belum bisa diprediksi saat ini. (halaman 49-50).
Buku setebal 249 halaman ini terdiri dari 10 bab, yang membahas konteks pendidikan masa kini dengan segala kemudahan dan kemajuan teknologi (zaman kreatif), konsep pendidikan yang menumbuhkan, anak sebagai pembelajar, perkembangan bakat yang tentu saja melibatkan peran penuh orangtua, dan panduan dan latihan bagi orangtua untuk mengenali kecerdasan majemuk anak. Selain membahas kecerdasan dan bakat, buku ini juga mengupas keterkaitan belajar dan bakat dengan karier dan profesi.
Sebenarnya, konsep besar yang dikupas dalam buku ini tidak berbeda jauh dengan pendekatan yang dikenal dengan istilah humanistic approach, suatu pendekatan pengajaran yang menekankan pada keunikan setiap individu. Artinya, proses pengajaran seharusnya mengoptimalkan kapasitas masing-masing siswa, yang tentu berbeda antara satu siswa dengan lainnya. Proses ini dimulai dengan self acceptance dan self awareness, penerimaan mengenai potensi diri. Hal ini penting karena dapat menjadi faktor yang memotivasi siswa dalam belajar. Pendekatan ini bukan sesuatu yang aneh mengingat manusia memiliki naluri ingin mengaktualisasikan dirinya. (Johnson & Johnson, 1998).
Anak Bukan Kertas Kosong tampil menarik dengan layout yang tidak membosankan, ilustrasi yang pas dan ringkasan di setiap akhir bab. Buku ini sangat layak dibaca, bukan hanya oleh orangtua, namun juga oleh para pendidik. Pada dasarnya perlakuan terhadap siswa di kelas tak jauh berbeda dengan perlakuan yang diterima anak-anak di rumah. Dan, menurut saya, akan lebih enak dibaca jika ditambah daftar isi di bagian awal.
O ya, ada baiknya disinggung juga bahwa yang dimaksud orangtua di sini tentu tidak hanya terbatas ayah dan ibu, tapi juga para caregivers yaitu orang dewasa yang mengasuh dan membesarkan anak-anak tersebut. Keteladanan juga akan mereka contoh dari orang-orang ini.
Anak memang bukan selembar kertas, apalagi kertas kosong. Mereka adalah individu yang utuh, dengan segala potensi yang siap ditumbuhkembangkan.
Selamat mas Bukik, bukunya keren!
Judul buku: Anak Bukan Kertas Kosong
Penulis: Bukik Setiawan
Penerbit: Panda Media (2015)
Jumlah halaman: 249
[…] Bahwa setiap siswa berhak berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya juga dituturkan di buku Anak Bukan Kertas Kosong yang ditulis oleh Bukik Setiawan, yang ulasannya saya tulis beberapa waktu lalu. Bukik mengamini […]
[…] UtamiUtar.com […]