Kemarin, saya dan sahabat saya berbincang ringan mengenai sikap dan perilaku mahasiswa kami. Kami bicara banyak hal, dari bagaimana mereka menghargai komitmen tepat waktu baik dalam hal kehadiran maupun ketika mengumpulkan tugas, bagaimana mereka mengobrol, sampai hal-hal lain yang sangat khas mahasiswa. Sebagian sangat positif, sebagian lagi ya begitulah. Bukan hal yang aneh.
Lalu perbincangan kami sampailah pada frasa revolusi mental, yang beberapa waktu belakangan menjadi sangat dikenal. Tak ada yang salah dengan revolusi ini, hanya barangkali untuk beberapa kasus obrolan kami itu lebih pas disebut revolusi mental dengan fonem /e/ yang dibaca seperti dalam kata selalu.
Di sinilah hebatnya fonem. Unsur bunyi terkecil ini mampu membedakan arti suatu kata. Pada kata mental dan mental misalnya, perubahan satu fonem saja sudah membuat arti keduanya sangat jauh berbeda. Dalam KBBI, kata mental bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Sedangkan, kata mental (dengan fonem /e/ yang dilafalkan seperti huruf e dalam kata selalu) bermakna terpelanting, atau terpental.
Revolusi mental bukan sesuatu yang salah. Namun, frasa itu sangat kontradiktif. Yang namanya revolusi pastilah sesuatu yang dilakukan secara frontal, sedangkan segala yang terkait dengan mental selalu memerlukan proses yang tidak sebentar. Tak ada perubahan mental yang terjadi secara instan.
Budaya buang sampah sembarangan, menyeberang jalan semaunya, menyerobot antrian, asyik mengobrol ketika orang lain sedang menyampaikan pendapatnya tentulah sudah terbentuk dan tertanam dalam keseharian seseorang setelah sekian lama. Membuat orang tersebut melakukan yang sebaliknya bukan perkara mudah.
Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Barangkali hanya masalah waktu. Evolusi atau revolusi? Revolusi mental atau revolusi mental?