Kalau boleh saya bilang, buku ini adalah one stop reference untuk mereka yang tertarik dalam bidang bahasa. Bagaimana tidak? Di dalamnya mencakupi bukan hanya masalah-masalah bahasa yang dianggap serius karena menyangkut undang-undang, namun juga berpanjanglebar mengenai bahasa gaul mutakhir. Dari bahasa politik sampai So what gitu loh ..
Hal menarik lain dari buku ini adalah terlibatnya para peneliti dari berbagai latar belakang, sehingga data yang terjaring sangat komplek. Dengan pendekatan yang berbeda-beda mereka mengamati novel sastra, novel remaja gaul, obrolan di blog, kurikulum dan pengajaran di sekolah dan tempat kursus, majalah, siaran televisi, surat kabar, pembicaraan selebriti, Rancangan Undang-undang Bahasa sampai obrolan di pulau terpencil.
Para peneliti menunjukkan bahwa pengguna bahasa di Indonesia setelah 1998 membuka ruang-ruang yang sebelumnya disekat. Mereka menembus batas atas sesuatu yang semula dianggap tabu, seperti seksualitas dan ungkapan emosi kemarahan. Novel pada generasi 2000an sangat jauh berbeda dengan generasi Lupus yang muncul sekitar tahun 1980an.
Masalah tidak saja berhenti pada bahasa Indonesia dengan kosakata serapannya, namun meliputi juga bahasa daerah. Beberapa bahasa daerah menunjukkan gejala penyempitan ruang gerak. Tak dipungkiri, banyak di antara kita yang memendam persepsi negatif tentang bahasa daerah sebagai bahasa ‘kelas dua’.
Satu hal yang pasti, dinamika bahasa dan ruang aktualisasi identitas akan terus berlangsung selama pengguna bahasa yang membutuhkan ruang aktualisasi identitas itu masih ada.
Judul: Geliat Bahasa Selaras Jaman
Editor: Mikihiro Moriyama dan Maneke Budiman
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (2010)
@Wong Kam Fung: bener banget. thx for stopping by
[…] apa yang saya tulis dalam ulasan buku Geliat Bahasa Selaras Jaman bahwa beberapa bahasa daerah mengalami penyempitan ruang gerak. Tak hanya status sebuah kata yang […]