Hutang Rindu

dendam ekaSaya memang pembaca segala. Seharusnya, saya lebih mahfum bahwa buku yang saya baca pasti akan sangat bervariasi, baik jenis maupun kualitasnya. Tapi, kali ini subyektifitas saya yang menang. Novel yang baru selesai saya baca ini tak terlalu istimewa.

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas ditulis oleh Eka Kurniawan, terbit tahun 2014. Novel setebal 243 halaman ini berkisah tentang Ajo Kawir dan liku-liku jalan percintaannya dengan Iteung, seorang gadis cantik yang mahir berkelahi.

Salah satu yang membuat tidak nyaman membacanya adalah penggunaan sudut penceritaan yang bercampur baur. Narator (aku) dan penceritaan orang ketiga muncul bergantian. Pembaca harus cerdas menangkap siapa si aku ini.

Sebagai karya, sebuah novel tentu terkait juga dengan unsur ekstrinsik, selain unsur intrinsik berupa tokoh dan teman-temannya. Jika tidak kuat di unsur intrinsik, unsur ekstrinsik berfungsi sebagai sudut yang bisa mencuri perhatian pembaca akan karya itu. Sayang, dalam novel ini, keduanya tak bisa dibilang kuat.

Buku ini lebih banyak mengumbar kemesuman dibanding ungkapan rindu yang membatu dan cinta yang membara secara verbal. Bisa jadi karena Eka adalah seorang lelaki, yang umumnya, lebih suka bertindak dibanding bicara. Seorang teman saya, laki-laki, pernah bilang, “Rinduku tak cukup dituliskan.” Ia tak keberatan meluapkan rindu kepada orang yang disayanginya, tapi jangan harap ia mau mengatakan atau menuliskan pesan rindunya.

Unsur kelelakian ini juga tampak dalam pemakaian bahasa dan kata-kata yang cenderung vulgar. Kata-kata semacam ini bertebaran di hampir seluruh buku.

Perasaan rindu memang digambarkan Eka di beberapa bagian, namun rasanya belum cukup menggambarkan apa yang diwakili oleh judul. Penggalan di halaman 80 misalnya, adalah satu dari sangat sedikit cerita tentang rindu itu.

“Aku tak mungkin mati karena perkelahian,” katanya lagi kepada Si Tokek, dengan nada menyedihkan. “Tapi barangkali aku akan mati karena bosan menunggu, dan terutama barangkali aku akan mati karena perasaan rindu yang menyesakkan ini.”

Kalau penggalan itu meriwayatkan rindu, kalimat di halaman 91 lain lagi. Kalimat ini menuturkan kuatnya cinta. Begini bunyinya, “Tapi siapa yang bisa menghalangi cinta?“

Tentang dendam, Eka menuliskannya di bagian akhir. Dalam “Aku membunuh dua polisi, Sayang. Dua polisi sahabat baikmu.” di halaman 242, terlihat betapa Iteung merasa puas sudah membayar dendamnya. Frasa ‘sahabat baikmu’ lebih terdengar sebagai ironi, karena pada kenyataanya kedua polisi itulah yang menumbuhkan ketidakbahagiaan dalam hidupnya.

Sedikit pesan moral tersisip di akhir cerita. Sebagai manusia, kita tak tahu bagaimana segala sesuatu akan  berakhir. Dalam perjalanan menuju akhir ini, semakin banyak yang kita ketahui, semakin banyak masalah yang kita dapati.

Pesan moral ini saya amini sepenuhnya. Tapi tentang rindu, saya boleh tak setuju. Sampai kapanpun, rindu tak akan tuntas terbayar. Percayalah.

Judul: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2014)
Jumlah halaman: 243

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here