Inul, RUU, dan Playboy Indonesia

Siapa tak kenal Inul? Semua orang tahu siapa Inul. Penyanyi dangdut yang memiliki nama asli Ainur Rokhimah ini menuai berbagai reaksi atas goyang ngebornya. Gadis kecil yang anda temui di gang-gang sempitpun akan serta merta bergoyang manakala ditanya,”Mana goyang Inul?”

Minggu lalu Inul menangis. DPR yang tengah menggodog RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi mengundangnya. Mengira benar-benar akan didengar pendapatnya maka diapun datang memenuhi undangan dengar pendapat itu. Namun ternyata goyang ngebornya yang mulai booming beberapa waktu lalu (bahkan dia sempat menjadi sampul majalah Time) diungkit dan diserang.

Terlepas dari perlu tidaknya pornografi diatur dengan undang-undang, kalau memang bertujuan menyelematkan moral bangsa, mestinya anggota dewan juga memuat pasal-pasal dalam RUU ini yang berisi larangan dan sanksi. Misalnya larangan membuat tulisan, rekaman, film, gambar, foto yang mengeksploitasi bagian tubuh tertentu yang sensual bagi orang dewasa. Tentunya tak ada lagi media massa baik cetak maupun elektronik yang menampilkan gambar atau adegan dengan pemain yang berpakaian sensual. Itu kalau (masih) berpakaian.

Kata prnografi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia halaman 782 berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi, bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan berahi di seks. Berpijak dari pengertian ini maka media massa yang menonjolkan kemolekan lekuk tubuh bisa dikategorikan pornografi.

Tapi belakangan meruak kabar akan terbitnya edisi perdana majalah pria dewasa Playboy Indonesia pada Maret mendatang. Reaksi yang datang bervariasi, mengingat majalah Playboy sudah terlanjur memberikan stigma semabai majalah bermuatan seks. Pro dan kontra, itu pasti. Banyak pihak yang jelas-jelas menyatakan sikap menolak.
Namun pemegang lisensi memberikan beberapa argumen. Mereka meyakinkan bahwa majalah Playboy Indonesia akan berbeda dengan edisi Amerika atau Eropa dari isi maupun foto. Hal ini karena kontrak kerja sama berupa lisensi, yang berarti mereka memiliki hak mengatur format majalah. Distribusinya pun akan memaki sistem langganan. Bila sampai dapat ditemui di toko buku, maka akan menyematkan label ‘khusus dewasa’. Nah, masalahnya adakah jaminan untuk semua itu? Saat ini bahan bacaan seperti majalah, buku dan tabloid berbau seks sangat mudah didapat.

Lain cetak lain pula elektronik. Sinetron untuk remaja yang ditayangkan pada prime time pun banyak menampilkan adegan cium. Padalah pada waktu-waktu ini banyak anak-anak di bawah umur yang masih setia di depan televisi.
Kalau sampai majalah Playboy Indonesia akhirnya terbit, dan pihak pemegang lisensi tentu tak ingin investasi awal sebesar Rp 6 milyar terbang begitu saja bila majalah ini hanya muncul satu dua edisi, maka hal ini akan sangat membingungkan khalayak awam. Dan kalau dalam rangka penyusunan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dewan hanya mengundang Inul, bukannya pemain dan sutradara siteron yang mempertontonkan pornoaksi atau model dan penanggung jawab majalah dan tabloid yang mengumbar pornografi, maka hanya ada dua kata: Kasihan Inul.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here