Ini adalah tulisan ketujuh dari Grup Hitam Cerita Berangkai #2. Tulisan sebelumnya dibuat oleh Tb. Sjafri Mangkuprawira, Mataharitimoer, Chandra Iman, Erfano Nalakiano, Nonadita, dan Jun Dieyna. Tulisan ini memang catatan perjalanan saya, namun harapan bahwa kita bisa belajar sesuatu dari sini tentu tetap ada. Selamat menikmati, sama seperti saya menikmati perjalanan itu beberapa waktu lalu.
Bulan Desember lalu saya mengikuti konferensi internasional di Brisbane. Konferensi yang diikuti oleh perwakilan dari berbagai ini berlangsung dua hari namun karena baru mendapat penerbangan keesokan harinya, saya jadi punya kesempatan jalan-jalan.
Kota Brisbane terletak di negara bagian Queensland. Dan Queensland, sebagaimana wilayah Australia lain, memiliki daya tariknya tersendiri dengan pantainya yang memukau. Salah satunya adalah Gold Coast. Awalnya, saya pun berniat mengunjungi pantai ini. Namun, berbekal rekomendasi penduduk lokal, akhirnya pilihan jatuh ke Sunshine Coast di pesisir utara Queensland. Pantai ini kabarnya masih perawan, tidak seperti Gold Coast yang sudah terlalu ramai oleh turis, baik asing maupun domestik.
Setelah sarapan, yang disediakan dari pukul 07.00-08.00, saya dan seorang teman berangkat dengan bis bernomor 109 dari UQ Lake (halte di lingkungan University of Queensland yang dekat dengan danau) menuju kota. Di sini kami disambut sapaan hangat pak sopir. Dia juga bercerita dalam bahasa Indonesia bahwa istrinya berasal dari Indonesia. Sampai di kota, dia memberitahu kami beberapa info penting mengenai kota Brisbane.
Pagi itu kota masih sepi karena baru sekitar pukul 09.00. Setelah beberapa waktu kami berjalan menyusuri beberapa blok dan ruas jalan, barulah semakin banyak toko yang buka. Kami sempat mengunjungi beberapa toko sovenir karena barang yang dicari teman saya tak kunjung kami temukan. Untunglah, saya bisa kontak teman dari PPIA yang sudah tinggal beberapa lama di kota ini sehingga tak lama kemudian barang yang dicari sudah di tangan.
Selanjutnya, ‘berburu’ koala dan kangguru. Yang pertama kali kami lakukan adalah mencari Visitor Information Centre di pusat kota. Pelayanan yang ramah membuat kami merasa sebagai tamu yang sangat dinantikan oleh tuan rumah. Mereka sangat membantu dan memberikan informasi yang diperlukan. VIC ini dilengkapi dengan ratusan brosur yang memenuhi dinding dan beberapa rak, yang ditempatkan baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Mereka memberikan potongan harga jika kita membeli tiket tempat wisata di VIC. Tiket masuk ke Lone Pine Koala Sunctuary, misalnya, bisa kita dapatkan dengan harga $AUS 30, lebih murah $AUS 2 jika dibandingkan membeli di tempat. Potongan juga akan diberikan jika kita bisa menunjukkan kartu pelajar.
Jarak dari Brisbane ke Lone Pine Koala Sunctuary memakan waktu sekitar 40 menit dengan bis. Di sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan yang sangat menyegarkan, dengan pepohonan di kiri dan kanan jalan. Rumah-rumah dari kayu menambah keindahan tersendiri. Mereka sangat bangga bercerita bahwa di Brisbane rumah-rumah seperti itu masih dipertahankan.
Sampai di lokasi, kami hanya menunjukkan bukti pembelian tiket yang kami dapat dari VIC di pusat kota, dan mereka memberikan peta kebun binatang tersebut disertai rundown acara pertunjukan. Selain koala dan kangguru, di sini juga bisa ditemui beberapa binatang yang sama dengan di tanah air. Karena tujuan awal hanya mencari koala dan kangguru, kami tidak menjelajah seluruh area. Setelah bertemu kangguru dan menggendong koala, yang harus membayar lagi (paling murah $AUS 16$, tergantung ukuran foto yang diinginkan), kami bersiap menuju halte bis. Hanya satu atraksi yang sempat kami nikmati, yaitu atraksi biri-biri dan anjing, mirip sekali dengan film Shaun The Sheep.
Dari situ kami meneruskan perjalanan ke pantai. Karena untuk menjangkaunya harus naik kereta, dari bis Lone Pine Koala Sunctuary-Brisbane ini kami turun di halte yang ada di Roma Street. Dari situ tinggal menuruni tangga karena stasiun kereta Roma Street tepat di bawah halte bis.
Di loket, kembali kami disambut dengan senyum ramah pak penjual tiket. Mereka juga memberitahu bahwa menuju Sunshine Coast memakan waktu lebih dari dua jam, jadi perlu dipertimbangkan lagi untuk pergi ke sana dan langsung pulang lagi ke kota karena saat itu sudah hampir jam 16.00. Setelah menghitung waktu dan berbekal info mengenai jadwal kereta yang kembali ke kota, akhirnya kami memutuskan tetap pergi.
Tiket sudah di tangan dan kami bersiap menikmati perjalanan kereta dengan melewati 35 stasiun. Dan karena jaraknya yang tidak dekat, lebih dari 107 km, sekitar pukul 18.00 kami baru sampai di Nambour, stasiun ke 35. Dari Nambour kami naik bis ke arah pantai. Di sinilah cerita dimulai.
Bis nomor 610 yang kami tunggu akhirnya datang. Senyum pak sopir yang ganteng menyegarkan sore kami. Dia bilang siap mengantar kami sampai ke tempat yang paling indah. Tempat inilah yang biasa dikunjunginya jika sedang libur bekerja.
Di saat bis berhenti, kami bicara banyak hal, sampai akhirnya kami tahu kalau dia sempat mendapati dua ekor ular di halaman rumahnya hari sebelumnya. Ditunjukkannya foto ular, halaman dan rumahnya yang sangat besar dengan kolam renang di depannya dan mobil mewah terparkir di garasi. Pak sopir yang berasal dari Inggris ini juga sempat bercerita kalau dirinya memiliki dua paspor. “Biar seperti James Bond”, katanya.
Pukul 19.00 sampailah kami di pantai yang bernama Mooloolaba. Dia sempat menelpon ke dinas transportasi setempat untuk memastikan kereta terakhir menuju kota sebelum akhirnya menawarkan menjemput kami sekitar pukul 19.30, setelah jam kerja atau after hour.
Rasanya penat dan capek terbayar sudah setelah melihat pantai yang begitu indah dengan pasir putih dan lingkungan yang super bersih dan udara yang segar. Tak apalah menggigil karena angin yang bertiup sangat kencang asal puas menikmati hamparan pantai sepanjang itu. Selain turis asing, terdapat juga banyak warga setempat yang menikmati udara sore.
Waktu ‘penjemputan’ pun tiba. Saat kami asyik mengobrol, pak sopir memanggil dari seberang jalan dan perjalanan pulangpun kami mulai, dengan suasana yang lebih hangat dari sebelumnya. Dia menawarkan mengantar kami ke stasiun ke 30, Landsborough.
Setelah sampai di stasiun, dia memberikan kami tiket kereta dari Landsborough ke kota Brisbane dan mengatakan bahwa karena kami adalah temannya maka kami tak perlu membayar ongkos bis dari Mooloolaba ke Landsborough. Dia juga memberikan alamat email dan meminta kami menghubunginya jika datang kembali ke sana.
Perpisahan dengan pak sopir terasa seperti perpisahan dengan teman lama. Sedih. Iseng teman saya bertanya, mengapa dia begitu baik kepada kami, jawabnya sungguh membuat saya semakin ‘hormat’. Dia bilang, “Karena saya tidak bisa mengajar seperti kalian, yang bisa saya berikan hanya servis sebaik yang saya bisa.”
Kembali ke kota kita tercinta, barangkali pihak pemilik otoritas membaca tulisan ini, ada beberapa pelajaran dari cerita di atas terkait dengan pariwisata.
1. Perilaku SDM yang terkait dengan transportasi, misalnya sopir angkot, tukang ojeg, tukang becak dan kusir delman, sangat mungkin ditingkatkan. Hal ini bisa dimulai satu per satu, misalnya sopir angkot dulu. Sopir ini juga berfungsi sebagai duta wisata.
2. Sistem ticketing yang terintegrasi di VIC (kita punya Tourist Information Center di Taman Topi), yang terlebih dulu ditingkatkan kinerjanya. Jangan pelit-pelit memberi diskon.
3. Berlakukan harga yang sama untuk turis domestik maupun turis asing, baik ongkos transportasi maupun tiket masuk ke objek wisata. Di kota Bogor tercinta ini, saya melihat sendiri sopir angkot yang meminta bayaran 5 kali lipat kepada turis asing. Kusir delman juga menaikkan tarif begitu tahu saya mengajak teman dari Belanda. Belum lagi mahasisiwa asing di tempat saya mengajar kerap diminta membayar tiket ke tempat wisata sampai 10 kali lipat.
Hal kecil yang dilakukan jika diakumulasikan akan menjadi gerakan yang dahsyat. Kami cinta Bogor, dan tulisan seperti ini adalah salah satu wujudnya. Dari Grup Hitam, teman saya Miftah akan merangkai rantai berikutnya.
Terima kasih sudah membaca catatan perjalanan ini. Salam.
[…] (Pasar “Kaget” Pemda, menikmati macet mingguan dan sisa sampah di akhir pekan) 07. Utami Utar (James Bond Sopir Idaman) 08. Miftah 09. Echaimutenan […]
sebenernya kualitas sopir angkot kita bisa setara seperti sopir bus yang di australia itu asal si sopir angkot punya 2 paspor, rumah besar, kolam renang, dan mobil mewah.
hehe
Wah…..seru sekali jalan2 ke Australia, melihat Bogor semoga ke depannya lebih baik dan bijaksana…
tidak semua supir angkot itu menyebalkan, tadi saya naik angkot dari stasiun bogor ke gg aut tanpa ngetem, supirnya bilang kalo ngetem paling sebentar banget 🙂
well saya bayar dia 5x lipat dari tarif biasa 🙂
yap, bogor punya TIC di taman topi (Tourism Information Centre) kita bisa mendapatkan peta bogor, hanya saja harusnya petanya dibuat lebih menarik, bukan hanya selembar kertas saja.
saya pernah ke departemen pariwisata bogor, disana brosur tentang kota bogor kurang update
fyi saja, ternyata banyak pendapatan dari tempat wisata di bogor yang masuk ke pemerintah pusat, contohnya kebun raya… bagaimana pariwisata bogor mau berkembang kalo uangnya masuk ke pusat…
saya pribadi berharap agar masyarakat bogor dapat menjadi masyarakat yang madani, contohnya dengan membantu mempromosikan kota dan kab bogor, toh ini demi kebaikan bersama juga 🙂
kalo semua sopir angkot kayak gitu, ga perlu punya mobil pribadi deh ….
yah, transportasi masalah utama, yang bener mah kebanyakan angkot tuh, kalo jumlahnya bisa dikurangi pasti lebih tertib.
Dengan mengambil ‘nilai positif’ dari Brisbane, proses pembelajaran sudah terjadi … 😉
nice post.
saya tidak berandai sopir angkot bogor akan seperti si “James Bond”, karena jika sama maka akan merusak ke-khas-an kehidupan di kota Bogor… hehehe…
: )
@wongkamfung: salam kembali
@Kebon Jahe: wah siapa yang berani jamin mas?
@Erfano Nalakiano: pergi ke tempat lain membuat kita ‘kaya’
@Chandra Iman: tentu saya setuju, tak semua sopir bertingkah negatif
@damiana: di sana orang lebih memilih pakai kendaraan umum karena tak hanya bis, kereta, feri, semuanya nyaman
@Bugi:ya, alangkah indahnya jika pemimpin kita mau belajar dari hal positif yang dimiliki orang lain
@httsan: maksudnya khas yang gimana nih .. hehe..
[…] “Kaget” Pemda, menikmati macet mingguan dan sisa sampah di akhir pekan (Dieyna), James Bond Sopir Idaman (Utami Utar). Kemacetan adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu […]
[…] Prayitno, Chandra Iman, Erfano Nalakiano, Anandita Puspitasari, Jun “Siro” Dieyna, Utami Utar, Miftah Abdillah Akhmad, dan Suria […]