Jihad Terlarang

JT“Sebaik-baik teman sepanjang waktu adalah buku.” Begitu kalimat yang saya temukan di halaman pertama buku Jihad Terlarang karya Mataharitimoer (@mataharitimoer) ini. Couldn’t agree more. Saya sangat setuju. Termasuk untuk hari ini.

Dalam hal berteman, tak ada yang berhak mengatur saya bersahabat dengan siapa. Begitu pun dalam hal buku dan dua kegiatan yang lekat dengannya, baca tulis. Tak ada yang berhak menentukan apa yang ingin saya tuliskan mengenai sebuah buku dan buku apa yang boleh saya baca. Buku ini, misalnya, yang sudah beberapa tahun mengisi rak buku tapi baru hari ini saya tulis tentangnya.

Ketika membaca sesuatu, pesan akan lebih mudah ditangkap jika ada pengetahuan bersama (shared knowledge) antara pembaca dan penulisnya. Ini lazim. Pembaca akan melakukan analogi untuk mengaitkan apa yang dibacanya dengan apa yang sudah diketahui sebelumnya. Tapi, ternyata bukan hanya itu. Shared knowledge juga bisa berupa pengenalan pembaca akan penulis secara personal. Setidaknya begitu yang saya alami.

Dulu, ketika membaca Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer saya jadi mengait-ngaitkan antara yang saya baca dengan cerita yang dituturkan oleh sahabat saya Shita, buyut Tirto Adhi Suryo. Kadang saya harus memilah, mana fiksi dan mana yang fakta.

Royan, tokoh utama dalam buku yang disebut sebagai novel otobiografi ini, digambarkan sebagai seorang laki-laki kerempeng. Persis seperti Mataharitimoer yang saya kenal di tahun 2010 lalu. Juga gambarannya sebagai manusia cerdas dan kritis.

Lain saya, lain Roland Barthes. Barthes mengatakan, begitu sebuah karya lahir, pengarang akan mati. Artinya, ia terpisah dari teks. Teks itu sudah bukan lagi miliknya, dan ia tak lagi bisa campur tangan terhadap semua interpretasi yang dimiliki pembaca, pun tak bisa lagi menyuarakan kata-katanya. Buku ini adalah sebuah karya fiksi. Novel otobiografi. Walaupun otobiografi, tetap saja sebuah novel.

Novel ini mengisahkan perjalanan hidup Royan, dari awal masuk dalam pergerakan bawah tanah, berkembang di dalamnya, hingga akhirnya memutuskan keluar. Tentu perjalanan itu diwarnai dendam dan konflik, baik konflik batin (man against himself), konflik dengan orang-orang dalam hidupnya, di dalam dan di luar tubuh pergerakan (man against man), dan konflik dirinya dengan lingkungannya (man against environment).

Perkenalan Royan dengan gerakan radikal diawali oleh pertemuannya dengan Supar. Keadaan membawanya bersentuhan dengan kelompok pengajian yang bukan hanya mengaji (mendaras Al Quran) tapi juga mengkaji (mempelajari, menelaah) sejarah dan tafsir. Awalnya memukau, namun keterlibatannya selama sepuluh tahun membuatnya mempertanyakan banyak hal, yang puncaknya adalah keputusannya keluar dari pergerakan itu.

Terlepas dari beberapa kesalahan ketik minor (bahkan muncul di halaman 1), kisah ini dituturkan dengan alur yang mengalir. Bahasanya ringan untuk tema seberat ini, bahkan untuk orang yang awam dengan dunia Islam radikal seperti saya.

Lesson learned, pelajaran yang bisa dipetik, adalah bahwa jihad, apapun bentuknya, sebaiknya tak melupakan nalar. Ketika sudah tak masuk akal lagi, sudah saatnya mempertimbangkannya lagi. Jaman boleh berganti, jihad pun boleh jadi berubah bentuknya. Namun, sikap dan pemikiran kritis tak boleh mati.

Judul buku: Jihad Terlarang, Kisah Pertobatan Mantan Aktivis NII
Penulis: Mataharitimoer
Jumlah halaman: 368
Penerbit: Literati (2011), cetakan kedua

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here