Di suatu sore, sekian tahun yang lalu, saya duduk di bangku kayu di luar sebuah ruangan bersama beberapa orang mahasiswa yang sedang menunggu jam kuliah berikutnya. Kami menunggu di luar karena saat itu ruangan masih dikunci. Mereka asyik membicarakan dosen baru yang belum pernah mereka temui dan hanya mereka dengar ceritanya dari kelas lain. Hingga tiba saat saya harus mengajar dan saya ajak mereka masuk sambil mengatakan bahwa sayalah yang akan mengajar. Mereka pun minta maaf.
Para mahasiswa itu tidak salah. Mereka sudah dilatih oleh lingkungan bahwa dosen mestinya berpenampilan seperti โlayaknyaโ seorang dosen. Kata layak inilah yang sifatnya relatif dan tidak jelas, bahkan sampai sekarang. Hal yang sama terjadi akhir-akhir ini, dengan banyaknya argumen mengenai parameter seseorang dikatakan baik untuk jabatan tertentu. Lingkungan sudah terlanjur mengajarkan bahwa di sini wanita bertato dan merokok, apalagi di depan umum, tidak baik. Wanita berkerudung dan kulitnya mulus tanpa tato itu baik. Begitulah.
Label sosial ini akan terus terpelihara karena tanpa sadar masing-masing dari kita mengikuti warga lainnya dalam memberikan makna tertentu pada hal, lembaga, gagasan, atau orang, sebagai realitas budaya di sekitar kita (Hoed, 2011: 175). Gejala ini disebut Hoed dalam bukunya Semiotik & Dinamika Sosial Budaya sebagai semiotik sosial, yakni makna yang terbentuk dalam masyarakat tentang berbagai realitas sosial budaya. Ini terjadi dalam kehidupan sosial kita sehari-hari dari zaman ke zaman.
Bicara tentang label sosial ini, saya mengamini apa yang dikatakan Hoed bahwa pemberian label sosial ini tidak mendidik. Rakyat yang cerdas seharusnya tidak terbawa dalam arus semiotik sosial yang dilahirkan dari label-label seperti itu.
Saya jadi ingat pembicaraan dengan seorang sahabat tempo hari mengenai kacamata. Selain kacamata untuk mata minus atau plus yang harus diperiksa ulang secara periodik, โkacamataโ hati dan perspektif juga demikian. Kadang-kadang, kita harus menyesuaikan kacamata kita dengan lingkungan. Bisa jadi orang-orang di sekeliling kita memang sudah berubah.
Jika label sosial diberikan beramai-ramai oleh masyarakat, kacamata ini sifatnya lebih personal dan individual. Kita bisa saja tak keberatan dengan penampilan seseorang yang dianggap tidak pantas oleh masyarakat, sepanjang yang bersangkutan melakukan tugas dan kewajibannya dengan baik, profesional dan bertanggungjawab dalam bidang dan profesi apapun.
Jadi, boleh dong kalau saya hanya memilih tersenyum menghadapi komentar mengenai gelang yang katanya tidak sepantasnya saya pakai ketika saya mengajar?
Kalau saya jadi mahasiswa, jelas lebih memilih dosen yang berpenampilan memahasiswa. Memakai gelang etnik seperti yang dipakai itu, misalnya. Apalagi sudah ngoboi, cantik lagi. ๐
Salam persahablogan,
@adiwkf
๐
mba, boleh minta gelangnya satu?
*gagal fokus*
kamu persis mahasiswaku tadi deh ๐
Kacamata kuda boleh dipakai nggak, Mbak?
Kalau Mbak Tami boleh pake gelang etnik, aku berarti boleh pake sepatu bootku yang seru itu ya ๐
kacamata kuda buat kuda ya hihi..
boleh dong. let’s boot it ๐
stereotyping seperti itu bukan hanya di indonesia bu. Sampai saat ini saya masih dengar beberapa komentar dari masyarakat umum, seperti di Windhoek dan Jerman misalnya perempuan berambut pirang itu dianggap lemot, orang asia pintar matematika/komputer, perempuan yang suka dengan warna pink dianggap ignorant, pria berambut panjang dan memakai anting itu berbahaya (padahal salah satu teman dekat saya yang berpenampilan seperti ini sangat santun perilaku dan cara berbicaranya).
sangat menyedihkan. Tapi juga sudah banyak orang-orang terutama generasi muda yang lebih open minded and I hope many more will follow ๐
Mantab…gelang merupakan aksesoris pelengkap busana, tapi bisa menjadi simbolisasi bagi pemakainya apapun alasannya. Saya pun menggunakannya di saat mengajar dan mempunyai maksud tertentu selain melengkapi gaya berbusana. Semua itu pun tanpa mngganggu ilmu pengetahuan dan pengalaman yang disampaikan di depan kelas. Malah mahasiswa bisa lebih menerima dan nyaman dengan keberadaan dan gaya berbusana saya. Thanks atas postingannya.. #beyozhself#
Itu HOED bukan anto hoed? atau memang iya? soalnya ngomongin ke-eksentrik-an seseorang dan kepikir ya anto hoed hehe..
Cerita label sosial, ada yg menarik pengalamanku. Pernah, karena tidak pernah kondangan, kali pertama aku pakai batik dan mau kondangan sama teman2. Krn biasa pakai sendal, maka pas dipakai, teman bilang, Lu kayak Kepala Desa aja hahahaha.. baru nyadar. Itu “label” nya kades/kelurahan jaman itu, baju batik, sendal terompah.
Belakangan agak seru lg ngomongin label, salah satunya pasti kepicu sama Bu Menteri yg nyeleneh. Orang2 belom tau aja kalo dosen jg ada yg eksentrik ๐
Agreed!