Belakangan merebak reaksi beragam mengenai diadakannya Ujian Akhir Nasional (UAN). Reaksi pro dan kontra bermunculan. Belum lagi hal tersebut mereda, muncul masalah baru dengan diberlakukannya konversi nilai UAN ini. Maka tak heran siswa, guru, masyarakat, pihak penyelenggara dan elemen lain yang terkait merasa berhak urun rembug. Siswa yang pandai merasa dirugikan karena nilai yang tercantum lebih rendah dibandingkan nilai sebenarnya, walaupun dalam hitungan nol koma sekian.Sekolah yang memiliki peringkat tinggi berasumsi konversi ini menurunkan peringkat yang telah mereka bangun puluhan tahun.
Belakangan merebak reaksi beragam mengenai diadakannya Ujian Akhir Nasional (UAN). Reaksi pro dan kontra bermunculan. Belum lagi hal tersebut mereda, muncul masalah baru dengan diberlakukannya konversi nilai UAN ini. Maka tak heran siswa, guru, masyarakat, pihak penyelenggara dan elemen lain yang terkait merasa berhak urun rembug. Siswa yang pandai merasa dirugikan karena nilai yang tercantum lebih rendah dibandingkan nilai sebenarnya, walaupun dalam hitungan nol koma sekian.Sekolah yang memiliki peringkat tinggi berasumsi konversi ini menurunkan peringkat yang telah mereka bangun puluhan tahun.
Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut maka ujian akhir berskala nasional memang sudah selayaknya diterapkan. Namun perlu dirumuskan dengan jelas tujuan diadakannya UAN ini. Apakah ujian ini sebagai evaluasi ataukah sebagai sarana pemetaan mutu pendidikan nasional. Jika tujuan UAN adalah evaluasi, maka barangkali perlu dilihat kembali Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 58 ayat (1) bahwa: Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Jadi, evaluasi lebih tepat bila dilakukan oleh pihak penyelenggara pendidikan, bukan oleh pemerintah dengan menyelenggarakan ujian nasional yang hasilnya menentukan kelulusan peserta didik. Akan lebih tepat sasaran bila pemerintah melakukan evaluasi penyelenggara pendidikan (sekolah) melalui akreditasi.
Terlebih apabila UAN dimaksudkan untuk mencari data guna memetakan mutu peserta didik dan penyelenggara pendidikan tingkat nasional, maka seyogyanya ujian itu hanya bersifat pelengkap, tidak menjadi penentu akhir kululusan. Kelulusan ditentukan oleh kompetensi siswa selama belajar di sekolah tersebut. Kompetensi ini pun selayaknya mempertimbangkan multiple intelegence yang dimiliki siswa.
Belasan tahun yang lalu ada ujian nasional yang nilai perolehannya dikenal dengan istilah Nilai Ebtanas Murni (NEM). Namun nilai ini bukan penentu kelulusan. Lebih bijaksana dan adil tentu karena nilai ini hanya refleksi sesaat saja. Siswa yang pandai bisa jadi memperoleh NEM di bawah siswa yang biasa saja. NEM tertinggi dan nilai ijazah atau rapor tertinggi belum tentu diraih oleh siswa yang sama.
Bila memang pemerintah berupaya meningkatkan mutu pendidikan, maka sebaiknya yang perlu diperhatikan bukan hanya mengotak-atik nilai tapi menentukan standar baku mutu semua pihak terkait, yang tentu saja mencakup sarana dan prasarana.
1. Sudah saatnya dipertimbangkan akreditasi untuk tingkat pendidikan menengah. Siswa yang memperoleh nilai sama di sekolah yang berbeda status akreditasinya tetap memiliki ‘nilai’ yang berbeda. Biarlah masyarakat yang menilai karena pada dasarnya akreditasi memang dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas publik. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 dituangkan bahwa masyarakat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
2. Ujian berskala nasional – apabila memang harus diadakan – benar-benar merupakan buah pemikiran yang masak. Kalau perlu peraturan mengenai hal ini disosialisasikan jauh sebelum waktu ujian, sehingga dimungkinkan persiapan berbagai pihak menjadi lebih baik. Masa berlaku peraturan mengenai hal ini tentu tidak instan, hari ini dirumuskan maka hari ini juga berlaku.
3. Berkenaan dengan poin nomor 2 di atas, maka pembekalan dan pelatihan guru memegang peran dominan. Dengan mantapnya pengetahuan guru tentang apakah UAN itu, bagaimana pelaksanaan di lapangan, konversi nilai, bahkan bentuk dan bobot soal UAN maka dapat ditarik benang merah antara hal ini dan tingkat keberhasilan siswa.
Pendidikan adalah masalah serius. Jika tidak direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi secara serius pula, maka tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab akan tinggal impian.
Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut maka ujian akhir berskala nasional memang sudah selayaknya diterapkan. Namun perlu dirumuskan dengan jelas tujuan diadakannya UAN ini. Apakah ujian ini sebagai evaluasi ataukah sebagai sarana pemetaan mutu pendidikan nasional. Jika tujuan UAN adalah evaluasi, maka barangkali perlu dilihat kembali Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 58 ayat (1) bahwa: Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Jadi, evaluasi lebih tepat bila dilakukan oleh pihak penyelenggara pendidikan, bukan oleh pemerintah dengan menyelenggarakan ujian nasional yang hasilnya menentukan kelulusan peserta didik. Akan lebih tepat sasaran bila pemerintah melakukan evaluasi penyelenggara pendidikan (sekolah) melalui akreditasi.
Terlebih apabila UAN dimaksudkan untuk mencari data guna memetakan mutu peserta didik dan penyelenggara pendidikan tingkat nasional, maka seyogyanya ujian itu hanya bersifat pelengkap, tidak menjadi penentu akhir kululusan. Kelulusan ditentukan oleh kompetensi siswa selama belajar di sekolah tersebut. Kompetensi ini pun selayaknya mempertimbangkan multiple intelegence yang dimiliki siswa.
Belasan tahun yang lalu ada ujian nasional yang nilai perolehannya dikenal dengan istilah Nilai Ebtanas Murni (NEM). Namun nilai ini bukan penentu kelulusan. Lebih bijaksana dan adil tentu karena nilai ini hanya refleksi sesaat saja. Siswa yang pandai bisa jadi memperoleh NEM di bawah siswa yang biasa saja. NEM tertinggi dan nilai ijazah atau rapor tertinggi belum tentu diraih oleh siswa yang sama.
Bila memang pemerintah berupaya meningkatkan mutu pendidikan, maka sebaiknya yang perlu diperhatikan bukan hanya mengotak-atik nilai tapi menentukan standar baku mutu semua pihak terkait, yang tentu saja mencakup sarana dan prasarana.
1. Sudah saatnya dipertimbangkan akreditasi untuk tingkat pendidikan menengah. Siswa yang memperoleh nilai sama di sekolah yang berbeda status akreditasinya tetap memiliki ‘nilai’ yang berbeda. Biarlah masyarakat yang menilai karena pada dasarnya akreditasi memang dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas publik. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 dituangkan bahwa masyarakat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
2. Ujian berskala nasional – apabila memang harus diadakan – benar-benar merupakan buah pemikiran yang masak. Kalau perlu peraturan mengenai hal ini disosialisasikan jauh sebelum waktu ujian, sehingga dimungkinkan persiapan berbagai pihak menjadi lebih baik. Masa berlaku peraturan mengenai hal ini tentu tidak instan, hari ini dirumuskan maka hari ini juga berlaku.
3. Berkenaan dengan poin nomor 2 di atas, maka pembekalan dan pelatihan guru memegang peran dominan. Dengan mantapnya pengetahuan guru tentang apakah UAN itu, bagaimana pelaksanaan di lapangan, konversi nilai, bahkan bentuk dan bobot soal UAN maka dapat ditarik benang merah antara hal ini dan tingkat keberhasilan siswa.
Pendidikan adalah masalah serius. Jika tidak direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi secara serius pula, maka tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab akan tinggal impian.