Selalu menyenangkan membaca sebuah karya yang bisa membawa kita mengembara. Bukan hanya kembara visual dengan imaginasi yang digambarkan dengan sangat rapi dan detil tapi juga kembara batin. Tulisan seperti ini memperkaya batin karena dituliskan dan dilukiskan dengan simpati dan empati. Karya Ahmad Tohari, yang sangat erat dengan cerita-cerita seputar orang-orang kecil, termasuk yang kedua. Begitu yang saya rasakan.
Mata yang Enak Dipandang memuat 15 cerita pendek, yang diawali dengan cerita pendek berjudul sama. Kemudian, disusul Bila Jebris Ada di Rumah Kami; Penipu yang Keempat; Daruan; Warung Penajem; Paman Doblo Merobek Layang-layang; Kang Sarpin Minta Dikebiri; Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan; Sayur Bleketupuk; Rusmi Ingin Pulang; Dawir, Turah dan Totol; harta Gantungan; Pemandangan Perut, Salam dari Penyangga Langit, dan Bulan Kuning Sudah Tenggelam.
Saya setuju dengan pemilihan judul ini. Dari semua cerita, cerita pertama ini memang secara jujur dan apik mengangkat realitas bawah. Barangkali karena itu adalah kisah pertama dalam buku ini, sehingga meninggalkan kesan istimewa. Semua yang pertama pasti terasa luar biasa. Termasuk cinta pertama. 🙂
Ahmad Tohari menyisipkan pesan dengan elegan lewat ironi dan metafora. Mari kita ambil beberapa contoh.
Dalam Mata yang Enak Dipandang ia menuliskan bahwa mereka yang matanya bisa melihat pun sering kali tak bisa ‘melihat’. Mereka tidak bisa membedakan mana mata yang enak dipandang dan yang tidak. Mata orang-orang baik biasanya lebih enak dipandang.
Bila Jebris Ada di Rumah Kami mengingatkan kita bahwa segala sesuatu berpulang pada niat. Jika sabar dan berniat baik, menolong orang yang (katanya) tidak baik pun tetap yakin akan mendapatkan berkah.
Bukan hanya tentang sesama, dalam buku ini juga dijumpai sentilan Ahmad Tohari tentang Dzat yang lebih tinggi. Di halaman 163 tertulis begini.
Dan wahyu memang diturunkan dalam bahasamu, bahasa bumi. Bila tidak, bagaimana kalian bisa memahaminya? … Maka kami adalah penjaga batas antara ada dan tidak ada. Dan inilah tugas yang mahadahsyat beratnya dan tak ada tugas lain yang menandinginya. Kelak bila tugas kami selesai, alam raya ini akan lenyap dalam ketiadaan. Ruang dan waktu tak lagi berwujud, bahkan juga materi. Semuanya akan lenyap sehingga yang ada hanya Sang Maha Ada.
Suara Ahmad Tohari juga terasa dalam karya-karya lain. Sesekali bolehlah tengok juga Bekisar Merah, Kubah, Di Kaki Bukit Cibalak atau Senyum Karyamin.
Begitulah Ahmad Tohari. Begitulah caranya dekat dengan pembaca melalui karyanya yang selalu menggigit.
Judul: Mata yang Enak Dipandang
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2013)
Jumlah halaman: 216 halaman