Tadi sore, saya bertemu dengan Lilis, sahabat saya, setelah sekitar enam tahun hanya berkomunikasi melalui media sosial. Keterlaluan memang, mengingat tempat tinggal kami tidak jauh-jauh amat. Saya di Bogor dan teman saya ini di BSD. Kami menyesap kopi sore di tempat favorit kami, melepas rindu dengan bincang hangat mengenai banyak hal. Dari urusan profesional sampai personal. Seru.
Karena pekerjaan kami tak jauh dari urusan pengajaran, diskusi awal tentu tak jauh dari situ. Dalam beberapa hal mengenai pengajaran kami sependapat. Ada beberapa hal yang menjadi catatan buat saya: pendekatan yang humanis, pola komunikasi, dan pemanfaatan film dalam pengajaran.
Pendekatan pengajaran yang lebih humanis (humanistic approach) memang lebih pas. Pendekatan ini menekankan pada keunikan potensi individu. Artinya, proses pengajaran sebaiknya mengoptimalkan kapasitas masing-masing siswa, yang tentu berbeda antara satu siswa dengan lainnya. Proses ini dimulai dengan menanamkan self acceptance dan self awareness, suatu proses penerimaan mengenai potensi diri. Hal ini penting karena dapat menjadi faktor yang memotivasi siswa dalam belajar. Pendekatan ini bukan sesuatu yang baru dan sangat mungkin diterapkan mengingat manusia memiliki naluri ingin mengaktualisasikan dirinya. (Johnson & Johnson, 1998).
Berikutnya, pola komunikasi guru dan siswa diwarnai juga oleh pola komunikasi siswa dengan orangtua dan lingkungan. Di wilayah yang masyarakatnya permisif terhadap penggunaan bahasa dan perilaku kasar, siswa cenderung kebal dengan pola komunikasi guru yang biasa saja. Mereka memerlukan sentuhan lain, yang bisa jadi sedikit lebih ‘keras’.
Yang terakhir adalah penggunaan film dalam proses pengajaran. Ini sangat efektif, meski tujuan mengubah pola pikir (mindset) tidak bisa tercapai dengan instan setelah menonton film, setidaknya dengan diskusi mengenai isu dalam film itu memberitahukan kepada kita bahwa ada sesuatu yang layak dipikirkan.
Sore makin menua, dan perbincangan kami pun memanjang dan melebar. Dari kopi sampai urusan hati. Ada satu catatan kami, bahwa sebaiknya memang kita tidak memberikan penilaian kepada orang lain jika belum pernah berada dalam keadaan serupa. Banyak orang memberikan komentar yang sifatnya menghakimi, tanpa mau tahu keadaan yang sebenarnya. Persis yang saya tulis tahun lalu, “Never say anything about something you’ve never encountered.” Dalam hal apapun.
Begitulah. Buat saya, orang-orang seperti ini ibarat matahari. Mereka menempati ruang hidup saya dengan perannya masing-masing. Sahabat, kerabat, dan banyak peran lain yang mereka mainkan. Memang tak selalu tampak, tapi saya tahu mereka ada.