Suatu hari seorang teman saya bercerita bahwa temannya mendapatkan pesan pendek dari siswa di kelasnya. Isinya bukan basa-basi. Siswa tersebut mengatakan bahwa ia ingin membeli nilai untuk mata ajaran yang diampu sang teman ini. Membeli. Dan, pesan itu dikirim malam hari, waktu istirahat bagi kebanyakan orang. Entah bagi orang lain, bagi saya kisah tersebut membuat saya tercengang.
Buat saya, peristiwa itu sama sekali tak terbayangkan. Dulu, dulu sekali, bapak saya selalu menekankan bahwa apapun yang kita dapatkan pasti sebanding dengan usaha yang kita lakukan. Kita tak akan mendapat hasil lebih baik jika tak ada perubahan dalam usaha yang kita lakukan. Dengan penubian seperti itu, saya akan menerima hasil apapun yang saya peroleh. Baik atau buruk. Sedih atau bahagia itu masalah lain, tapi tentu saya tak akan pernah berpikir melakukan seperti yang dilakukan siswa itu.
Lalu, dari mana siswa tersebut mendapatkan keberanian mengirim pesan itu? Jika kita telusuri, semua berawal dari rumah; walaupun lingkungan tentu memberikan warna tersendiri. Pola pikir, perilaku, tata nilai, bahkan bahasa yang kita pakai dibentuk dari faktor-faktor itu.
Jika memang pendidikan anak-anak berawal dari rumah, tanggung jawab terbesar ada pada orangtua atau caregivers yang membesarkan mereka. Saya jadi ingat buku Anak Bukan Kertas Kosong yang ditulis Bukik Setiawan (@bukik). Dalam buku ini, Bukik banyak menyitir pandangan Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan. Ia menuliskan bahwa keluarga adalah pusat pendidikan. Orangtua bisa saja mendelegasikan pengajaran pada kaum ahli, tetapi pendidikan anak tetaplah menjadi tanggung jawab orangtua. (halaman xxv)
Sayangnya, jika bicara mengenai pendidikan, arahnya bukan ke keluarga (Levitt & Dubner, 2014). Di halaman 50 bukunya yang berjudul Think Like A Freak, Levitt dan Dubner menuliskan, “But when serious people talk about education reform, they rarely talk about the family’s role in preparing children to succeed.” Kita sibuk mengarahkan telunjuk kepada institusi sekolah, guru, kurikulum dan sistem yang berlaku. Padahal, kalau kita mau melihatnya dari sisi yang berbeda, mungkin saja kita akan mendapatkan solusi yang berbeda pula.
Barangkali ada baiknya sebelum bicara mengenai pendidikan dalam konteks luas, kita mulai dari konteks yang terjangkau tangan kita dulu. Diri sendiri dan keluarga.
Alamak! Brani kali tu anak. 🙁
Salam persahablogan,
@adiwkf
Pendidikan harus berawal dari rumah. Bagaimana orangtua menanamkan nilai kejujuran, ikhtiar berjuang utk mencapai sesuatu dan cara sistemik menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Jangan berikan yang instan krn proses itu penting utk kematangan jiwa anak.
Saya prihatin dengan kejadian di atas. Memang msh banyak orangtua yang masih miskin mental, contohnya sering kita lihat orangtua yg merokok di dkt anak2nya. Mereka tdk sadar, kalau mereka itu panutan. Hrs ada pendidikan parenting di sekolah2, jd yang sekolah bukan saja anaknya tetapi orangtuanya juga.