Minat Baca Rendah: Salah Siapa?

Berawal dari obrolan di twitter, saya jadi nulis tentang minat baca. Dibagi di sini supaya lebih leluasa.

Tulisan tentang minat baca bangsa Indonesia memprihatinkan bukan hanya sekali kita temukan. Katanya, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kita berada di urutan bawah.

Soal minat baca ini berhubungan dengan banyak faktor yang saling terkait satu sama lain. Tidak bisa menyebut satu hal sebagai biangnya. Anak-anak yang minat bacanya rendah itu produk. Sangat tidak adil hanya menyalahkan mereka tanpa melihat gambar yang lebih besar dan kompleks. Seberapa kompleks? Mari kita lihat.

Pertama, faktor personal. Setiap manusia punya sifatnya sendiri. Ada yang visual, auditoris, dan ada pula yang kinestetik. Mereka yang visual tentu tidak masalah dengan aktivitas membaca. Bagi orang-orang yang dominan visual, kekuatan utama mereka ada di mata. Namun, tidak demikian halnya dengan orang-orang auditoris. Apalagi kinestetik.

Ada yang bawaan lahirnya suka membaca, ada yang harus dipupuk mati-matian. Saya punya dua anak yang kegemaran membacanya berbeda. Anak sulung saya punya kebiasaan membaca yang lebih kuat. Mungkin itu salah satu alasan ia memutuskan kuliah di dua tempat. Jadi, tidak bisa digeneralisir semua manusia sama.

Kedua, cara kita dibesarkan. Tumbuh di keluarga yang akrab dengan kegiatan membaca tentu memberikan peluang bagi seorang anak menjadi seorang pembaca juga. Saya mengenalkan membaca sejak anak-anak masih kecil. Kegiatan mendongeng setiap malam lambat laun berubah menjadi kegiatan membaca ketika mereka sudah bisa membaca.

Ritual membaca ini punya banyak manfaat. Jika suatu saat kami membaca cerita berbahasa Inggris, saya juga mengenalkan pelafalannya. Setelah membaca, saya ajak anak berdiskusi ringan. Pemikiran kritis bisa mulai dibangun dengan pertanyaan sederhana seperti “Sukakah dengan ceritanya? Kenapa?”, “Menurutmu, yang dilakukan si Benny gimana?”, dan pertanyaan lain sesuai umurnya.

Ketiga, lingkungan. Yang saya maksud lingkungan meliputi lingkungan rumah, sekolah, dan lingkungan bermain. Kalau tidak tersedia bahan bacaan, bagaimana mungkin mengharapkan mereka mau membaca? Lalu, lingkungan sekolah. Ada sekolah yang meminta siswanya membuat semacam laporan bacaan. Misalnya memberikan target buku apa yang dibaca siswa dan mereka melaporkan hasil bacaannya. Bisa dalam bentuk lisan, bisa juga tertulis. Kemudian, yang tidak kalah penting adalah lingkungan bermain. Teman sepermainan sangat besar pengaruhnya terhadap kondisi seseorang. Bergaul dengan tukang baca, akan membaca juga. Kalau tidak membaca, akan ketinggalan obrolan.

Keempat, budaya. Sejak kecil kita dikenalkan dengan ungkapan “Malu bertanya, sesat di jalan.” Makanya, banyak yang lantas terbiasa bertanya. Mereka memilih cara cepat. Membaca kan perlu waktu. Bahkan, dengan banyaknya informasi yang tersedia di internet pun, mereka memilih bertanya alih-alih mencarinya di mesin perambah. Mungkin akan lain ceritanya kalau yang kita kenal adalah “Malas baca, sesat di jalan.”

Kesediaan mencari informasi ini besar sekali kaitannya dengan pemikiran kritis, terlebih di zaman penyebaran informasi yang serba cepat. Membaca bukan hanya mengenai pesan yang tersurat, tapi juga yang tersirat.

Jadi, daripada mengutuk keadaan kita berada di peringkat 60 sekian, sementara Finlandia di peringkat pertama; lebih baik bertanya kepada diri sendiri. Bagaimana minat baca kita? Apakah kita sudah melakukan sesuatu? Bagaimana mereka di lingkungan yang terjangkau tangan kita: anak-anak? Kalau semua orang melakukan sesuatu dengan minat bacanya atau minat baca anak-anaknya, saya yakin peringkat kita akan menjadi lebih baik.

Ini layak dipikirkan, karena yang lebih penting dari membaca adalah sikap kita sesudahnya. Literasi dan literasi kritis adalah dua hal krusial.

Saya bersyukur, sampai saat ini anak saya masih gemar membaca. Pilihan bukunya juga bagus. Kadang-kadang kami bertukar baca. Semoga seterusnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here