Baru saja menginjakkan kaki di Jakarta, saya sudah rindu untuk kembali ke Seoul. Kota ini punya daya magis yang luar biasa, bahkan bagi saya yang hanya sempat beberapa hari berada di sana. Kunjungan singkat ini memberikan banyak kesan mendalam. Saya bersama sekitar 200 rekan dari berbagai negara datang sebagai peserta konferensi internasional dalam rangka memperingati 50 tahun program studi Malay-Indonesia di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul. Rangkaian acara tanggal 14-16 Mei 2014 itu memberi saya banyak ilmu, teman dan pengalaman baru.
Konferensi dengan tema Bridging the Unbridgeable: Changing the Paradigms in Malay-Indonesian Studies ini dibuka dengan welcome dinner. Pada kesempatan ini saya duduk semeja dengan teman-teman dari Malaysia. Karena acara diadakan di lantai 31, saya bisa menikmati Seoul di malam hari, dari ketinggian itu. Cantik sekali.
Hari kedua merupakan acara inti. Hari itu saya bertugas sebagai moderator pada pagi hari, sebelum tampil sebagai presenter pada siang harinya. Saya senang sekali ketika mendapati majalah budaya Koreana edisi Spring 2014 edisi bahasa Indonesia ada dalam seminar kit yang dibagikan kepada semua peserta karena dalam majalah ini ada empat artikel yang saya terjemahkan. Koreana adalah jurnal budaya yang diterbitkan oleh Korea Foundation dan didistribusikan ke 160 negara, dalam sembilan bahasa.
Setelah sambutan duta besar Indonesia untuk Korea Selatan, disusul sambutan berikutnya dari pihak universitas. Sambutan terhenti sejenak dan semua peserta menerima korsase bunga carnation yang disematkan oleh para mahasiswa. Hari itu adalah hari guru dan di Korea, murid memberikan bunga dan bingkisan kepada gurunya di hari ini. Saya bahagia sekali bisa berada di sana pada saat spesial seperti ini.
Peristiwa kedua yang membuat saya tersanjung adalah ketika saya tampil sebagai penyaji makalah. Pada konferensi kali ini saya mengangkat buku Pramoedya Menggugat, Melacak Jejak Indonesia yang ditulis Prof Koh Young Hun. Buku ini mencoba “membaca” karya Pramoedya dengan pendekatan analisis wacana kritis, dengan mencermati hubungan karya-karya tersebut dengan latar sosial budaya Pramoedya, dan hubungan antarkarya Pramoedya itu sendiri. Pada saat itu, Prof Koh berada di antara para penghadir. Sungguh suatu kehormatan bagi saya. Dan, komentar positifnya mengenai presentasi itu, membuat saya semakin menjura.
Hari ketiga adalah hari wisata. Dari acara inilah saya tahu kalau pencapaian Korea Selatan sebagai negara Asia yang sangat maju ini juga berimbang dengan bagaimana mereka merawat kecintaan kepada budaya dan tanah air. Para penjual dengan bangga mempromosikan barang dagangannya adalah buatan dalam negeri. Ini saya temui di Insadong, kawasan perdagangan yang sebagian besar menjual barang dan cenderamata tradisional untuk konsumsi turis asing dan domestik.
Mereka menjadikan budaya sebagai identitas dan komoditi pada saat yang bersamaan. Budaya populernya berhasil menguasai Asia dan semakin dikenal dunia global berkat Korean Wave. Bahasa, makanan, musik dan gaya hidup mereka makin diminati. Saat melihat patung Raja Sejong di area dekat istana Gyeongbok dengan ruang khusus mengenai kisahnya, ‘The Story of King Sejong”, saya menjadi sangat mahfum mengapa bangsa Korea begitu lekat dengan budaya tulis. Aksara Hangul tetap dipakai hingga kini, juga di tempat-tempat umum. Pemakaian bahasa Korea dan bahasa Inggris dalam petunjuk tempat dan lokasi menunjukkan bagaimana mereka mengadopsi keterbukaan dengan tetap memegang teguh tradisi.
Rangkaian acara ditutup dengan malam budaya. Dengan suguhan atraksi dan tarian dari Korea, Indonesia dan Malaysia, acara ini menjadi sangat kaya. Indonesia menampilkan sanggar Mirah Delima dari Aceh, dengan tari Saman dan beberapa tarian lain dengan sangat memukau. Sajian ini mendapat standing ovation dari hadirin. Dan, saya menjadi semakin cinta Indonesia. Pada saat resital piano membawakan lagu Halo-halo Bandung, spontan saya dan sahabat saya Maman S. Mahayana, yang duduk di sebelah saya, ikut bersenandung. Saya cinta Indonesia!
Selain budayanya, transportasi di Korea Selatan adalah satu di antara yang terbaik. Transportasi di Seoul, dan pastilah juga di kota-kota lain di seluruh negeri, menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Dari beberapa negara yang sempat saya kunjungi, baru di sinilah saya menikmati perjalanan sebagai pelancong yang bepergian dengan transportasi publik. Ketepatan waktu, kenyamanan dan keamanan sangat bisa diandalkan. Sebagai seorang wanita, baru kali ini saya naik taksi di negara asing tanpa rasa khawatir, bahkan ketika menjelang tengah malam sepulang dari malam budaya itu.
Seoul dan keindahannya sudah mengajak saya bermimpi. Mimpi yang saya yakin suatu saat menjadi kenyataan: saya datang lagi!
Asyik pengalamannya. Tentu kesannya sekarang akan berbeda terhadap segala yang berbau Korea di sini setelah mengunjungi langsung negara tersebut. 🙂
Salam persahablogan,
@adiwkf
It changes me, a lot 🙂
mbaaaaaa… kannn bener aku jd iri..
ceritanya well explained. aku jd ikut merasa sdg disana. congrats for the experience and the achievement. proud being your friend
Proud to be your friend too. Sukses buatmu ya.
Negeri yang hebat…
Cerita yang membuat saya terbawa suasananya. Terutama yg tari Salman dan nyanyi Halo-halo Bandung.
Semoga bisa kesana.
Ikutan jadi KPop lover, Bu? 🙂
Ya, bikin merinding tiba-tiba.
Makasih oleh-olehnya, Mbak Tami!
Ih, aku juga pengen ke sana jadinya. Apalagi kalau boleh nonton 2 PM hihihihi (ketauan banget aku penggemar K-Pop juga!)
Aku juga mau ke sana lagiiii….
Thats why i want to get there ♥
Someday. Somehow.