Saya sudah kembali ke Bogor setelah lebih dari dua minggu menemani ibu. Ibu juga sudah membaik. Terima kasih untuk doa kerabat dan sahabat. Kata bapak, hari ini ibu minta belajar jalan tanpa kursi roda.
Tadi pagi ketika saya menghubungi melalui telepon, ibu juga sudah memberikan respon yang jauh lebih baik. Sebelumnya, karena memori yang terganggu, kadang ibu memberikan respon lain dari yang diharapkan. Kalau sedang ingat saya, kami ngobrol enak sekali. Jika sedang lupa, ibu akan menggunakan bahasa Jawa halus seolah tidak sedang bertutur kepada saya. Ini juga terjadi ketika ibu berbincang dengan bapak.
Kami sangat dekat. Dalam berinteraksi, kami tidak memakai bahasa halus satu sama lain. Bapak dan ibu juga menyapa dengan caranya sendiri, tidak dengan sebutan ‘Pak’ atau ‘Bu’ seperti lazimnya para orangtua. Mungkin ini sebabnya saya menjadi tidak suka disapa dengan sebutan ‘Bu’ oleh suami saya.
Addressing system seperti ini terlihat sepele bagi sebagian orang, tapi tidak demikian bagi sebagian yang lain. Kata sapaan juga menunjukkan kedekatan sosial seseorang (social distance). Tentu saja masalah ini berhubungan dengan konteks budaya setempat. Begitu yang ditulis Janet Holmes dalam An Introduction to Sociolinguistics.
Itu teori. Praktiknya lain lagi. Teman saya yang dosen menikmati dipanggil ‘Mas’ dan ‘Aa’ oleh para mahasiswanya. Yang satu orang Jawa, satunya orang Sunda. Sahabat saya yang lain membiarkan anak buahnya menyapa dengan ‘Om’.
Barangkali yang tidak lazim adalah menggabungkan beberapa kata sapaan yang menunjukkan kedekatan berbeda. Teman saya Dini, yang berusia jauh lebih muda dari saya, memanggil saya ‘Bu’ tapi memakai ‘kamu’. Dia akan menyapa, “Bu Tamtam, kamu teh ke mana aja?”, jika lama kami tidak bertemu.
Sapaan ini juga tidak lepas dari stereotyping yang beberapa kali saya singgung. Kadang-kadang orang lain menyapa kita dengan kata sapaan yang kurang tepat hanya berdasarkan penampilan ragawi saja. Pernah suatu ketika saya ngopi bersama mahasiswa saya. Di kedai kopi saya disapa ‘kakak’ dan mahasiswa saya disapa dengan ‘ibu’.
Social distance juga bisa direpresentasikan dengan pemakaian nama panggilan. Saya punya beberapa nama panggilan yang dipakai oleh mereka dari ‘kalangan’ tertentu. Kerabat, teman-teman dari sekolah, dan teman main memanggil saya dengan nama yang berbeda. Ada juga satu nama panggilan yang hanya diberikan oleh satu orang ketika saya kecil.
Jadi, dalam kaitannya dengan sapaan dan kedekatan sosial ini, kalimat “Pagi, bu” dengan “Pagi, sayang” itu berbeda. Saya lebih suka disapa dengan kalimat kedua oleh suami saya. Disapa dengan kalimat pertama terasa sedang berhadapan dengan mahasiswa.
Begitu ya, sayang. 🙂
mahasiswaku sampe hari ini masih ga bs mengubah panggilan ibu, meskipun sudah ga di kelas yg aku ajar lagi.
kata mereka, rasanya janggal:)
kalau kamu enjoy, biarin aja hes. aku juga, ada alumni yang sekarang jadi kolega panggil aku mak’e 🙂
mahasiswaku sampe hari ini masih ga bs mengubah panggilan ibu, meskipun sudah ga di kelas yg aku ajar lagi.
kata mereka, rasanya janggal:)
pengennya diucapin selamat pagi sayang juga mb tami, tapi yg ngucapin ga ada 🙁
#lalutsurhat
ya sudah aku aja yang ngucapin ya: pagi, sayang 🙂
Mbakkk, namanya Janet kurang huruf M tuh. Ntar dia ngambek lho 🙂
sudah diralat. maklum, matanya lagi siwer lihat koreksian. makasih, sayang 🙂
pagi juga, sayang…
Anna! 🙂 🙂