Perempuan Cantik

Hari ini kembali saya bepergian. Dan, perjalanan kali ini komplit: dari waktu tempuh Bogor-bandara yang mencapai empat jam dan harus check in di menit terakhir, bertemu perempuan cantik, mendapatkan tempat duduk di antara dua laki-laki yang mengantuk dan kepalanya ke sana-sini, mendapatkan kiriman puisi dari seorang sahabat di ujung negeri, lewat jalan tol yang lengangnya luar biasa, banjir akibat hujan malam sebelumnya sehingga taxi yang saya tumpangi harus mencari jalan alternatif yang jaraknya lebih jauh sampai menikmati segarnya udara petang di kota kecil di punggung gunung dari atas delman. Dari semua itu, yang paling menyedihkan adalah bertemu perempuan cantik.

Setelah check in di menit terakhir (benar-benar terakhir karena setelah saya selesai, petugas memasang tulisan “closed” di mejanya), saya menuju pintu yang tertera pada boarding pass. Terlihat antrean panjang penumpang yang akan masuk ke ruang itu karena berdasarkan Undang-undang no 1 tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan no 127 tahun 2015 tentang Program Keamanan Penerbangan Nasional, para penumpang harus melewati pemeriksaan sekali lagi sebelum masuk ke ruang tunggu.

Setelah sekian menit berdiri di antrian itu, datanglah seorang perempuan cantik. Perempuan ini bilang, “Boleh saya di sini?” Saya mengatakan bahwa kami semua yang ada di situ sedang antre. Tapi, perempuan ini tidak peduli. Dia masuk ke antrean dan berdiri di belakang saya. Bapak-bapak yang semula di belakang saya lalu mundur selangkah dengan tangan dan mata tetap pada telepon genggamnya.

Begitulah. Sering sekali kita temui kejadian serupa, walaupun tidak persis sama.

Sekitar tiga tahun lalu saya pernah membaca sebuah tulisan yang dibagi oleh Mien Uno. Seorang guru di Australia mengatakan bahwa mereka lebih khawatir siswanya tidak tertib mengantre dibanding tidak pandai matematika. Alasannya, tidak banyak siswa yang kelak berprofesi yang ada kaitannya dengan matematika, tapi sudah pasti semua siswa kelak akan membutuhkan etika moral dan memetik pelajaran berharga dari mengantre di sepanjang hidupnya.

Dalam mengantre, kita belajar banyak. Pertama, manajemen waktu dan disiplin. Kedua, bersabar dan tabah mencapai tujuan. Ketiga, menghormati orang lain. Yang datang lebih awal mendapatkan giliran lebih awal dan tidak saling serobot. Keempat, belajar kreatif. Mereka memikirkan kegiatan apa yang bisa dilakukan selama menunggu giliran. Kelima, bersosialisasi. Keenam, belajar hukum sebab akibat. Jika terlambat, mereka harus menerima konsekuensinya berada di antrean di bagian belakang. Ketujuh, belajar memiliki rasa malu. Salah satunya, malu menyerobot dan mendapatkan tempat yang bukan haknya. Kedelapan, belajar jujur kepada diri sendiri. Dan, masih banyak lagi.

Di sini? Bahkan, ada orangtua yang menyebut anaknya penakut karena tidak berani menyela antrean. Hasilnya? Seperti perempuan cantik yang saya temui tadi.

Frasa perempuan cantik sengaja saya tekankan karena meskipun cantik tetap saja menjadi tidak baik jika menyela antrean seperti itu. Dan, perempuan berperan besar dalam pendidikan anak-anaknya. Jika ibunya saja begitu, bukan tidak mungkin anaknya akan berbuat serupa. Anaknya itu akan mengajarkan hal yang sama kepada anaknya. Begitu seterusnya.

Memang benar ya, setiap perjalanan selalu punya ceritanya sendiri. Selalu punya caranya memberikan pelajarannya sendiri. Seperti perjalanan saya kali ini.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here