Putri Kamboja Kuning

Ini adalah cerita pertama Grup 6 dari rangkaian #RantaiCerita  #3Penguasa yang diadakan oleh Blogor. Kisah kedua akan dilanjutkan oleh @Riqo_ZHI dan selanjutnya akan ditutup oleh @aniRingo. Selamat membaca.

___

Sejak lama Sarti jatuh cinta pada bunga ini. Kelopaknya yang kuning cerah dan harumnya yang memukau membuatnya ingin selalu berada di dekat bunga ini sepanjang hari. Di manapun ia berada, bunga ini selalu ada di dekatnya. Kecintaannya pada alam boleh diacungi jempol. Demi bumi, ia hanya memungut bunga yang sudah jatuh ke tanah, membersihkannya, dan meletakkannya di beberapa ruangan  rumahnya yang teduh dan asri.  Hingga saat ini, saat namanya bukan lagi Sarti.

“Kopi Liongnya sudah siap, den,” sela bi Nyai, pembantunya.

“Iya, terima kasih. Nanti kuminum,” katanya tanpa memindahkan tatapannya dari layar komputer.

Baru gelas kedua dan malam masih muda, masih akan ada bergelas-gelas Liong lagi menemaninya. Sekarang mata dan jarinya sedang sibuk membicarakan persiapan pendakian ke Rinjani esok hari dengan Lilis, temannya. Ini adalah pendakian pertama setelah 25 tahun lalu ia memutuskan istirahat. Suaminya ke luar kota selama sebulan, dan ia memanfaatkan waktu ini untuk melepaskan kerinduannya kepada alam.

***

Masih pagi ketika Herman menemukan sepucuk surat di antara lembar-lembar pekerjaan yang terserak di atas meja. Surat itu tersembul di antara lembaran surat kabar yang dibelinya tempo hari di ujung jalan. Pada sampul surat itu tak tertulis apapun. Ragu-ragu dibukanya surat itu. Dan ada sesuatu yang sangat menyesakkan dadanya begitu ia mulai membaca baris pertama.

23 April  2012

Setyo, barangkali ini adalah surat terakhir yang kutulis untukmu.

Satu hal yang membuatnya sangat ingin melanjutkan membaca surat itu. Putri, istrinya yang dulu bernama Sarti, menulis surat untuk lelaki lain. Sejak kapan? Egonya terusik dan darah kelelakiannya memanas. Tak sabar dia melanjutkan membaca surat itu.

Berlebihankah bila  aku  ingin sekali menikmati hidup ini sebagaimana aku ingin. Aku rindu Sarti yang dulu. Perempuan kampung dengan suara merdu. Perempuan yang menjelajah puncak beberapa gunung bersama sahabat-sahabatnya. Perempuan dengan letupan kebahagiaan setiap kali turun dari panggung bersama kelompok teaternya. Memang aku cinta suamiku, dan untuknyalah aku tinggalkan semua itu. Namun aku bosan menjadi Putri. 25 tahun sudah cukup, kurasa.

***

“Sampai hari Rabu depan, dalam rapat mingguan kita.”

Herman mengakhiri rapatnya. Kemudian bergegas turun ke lobby. Sambil menunggu Parta, sopirnya, ia melanjutkan membaca surat itu.

 Setyo,

Terus terang aku ingin sekali kembali ke masa itu. Duapuluh lima tahun lalu saat jiwaku utuh. Tak seperti sekarang. Hidup dalam kepura-puraan sungguh menyiksa batin. Rasanya ingin sekali aku bertemu kau dan melepaskan sesak di dada ini. Kau membuatku merasa nyaman. Lain dengan suamiku. Dia sangat membenci bila melihatku menangis tanpa berusaha mengerti mengapa aku menangis.

Herman melipat surat itu. Tak mampu ia menyelesaikannya. Ternyata ada yang salah selama ini. Matanya telah buta oleh kuasa. Sebagai laki-laki ia merasa berhak melakukan apa saja yang ia mau. Dia merasa telah berbuat benar dan hal ini tentu membuat istrinya bahagia. Ia merasa sudah memberikan limpahan harta dan materi. Baginya mungkin. Tapi tidak bagi Sarti, yang atas keinginannya berganti nama menjadi Putri, orang yang amat sangat dicintainya.

Kalah. Ia kalah. Ia kalah karena ternyata ia tak membuat istrinya bahagia. Namun jauh di lubuk hatinya ia juga merasakan kemenangan. Kemenangan yang menggelegak. Menang melawan kesombongan dirinya. Sarti telah membuka mata hatinya.

Segera ia bangkit dari duduknya. Ingin sekali dia segera pulang dan menemui Sarti. Tepat waktu. Ia akan minta maaf, walau ada satu hal yang mengganjal. Setyo. Siapa dia? Ah. Ia tak sanggup membayangkan istrinya akan mengatakan bahwa dia sungguh kekanak-kanakan. Tidak. Dia tidak akan menanyakan kepada istrinya. Setidaknya bukan sore ini. Dia tidak akan merusak sore ini.

Ia akan mengajak Sarti, itulah namanya, menikmati padang edelweis sambil menyesap teh di pagi hari di puncak gunung Gede minggu depan. Tapi sebelum itu, malam ini ia akan mengajaknya menikmati  teater “Mentang-mentang dari New York” di gedung Kemuning Gading. Atau, kalau istrinya lebih memilih menikmati malam ini di rumah, ia akan siap telinga lahir batin untuk mengikuti berdiskusi panjang lebar tentang karya Asmaraman Kho Ping Hoo dan Leo Tolstoy.

***

Sampai rumah, Herman terhenyak. Alunan Fur Elise dalam petikan gitar terdengar nyaring sekali. Ia bergegas mencari asal suara itu.

[Bersambung]

 

 

 

 

 

 

8 COMMENTS

  1. @wkf: ini hasil mpot-mpotan tiga hari. salut buat mereka yang bisa nulis fiksi sekali duduk …

  2. tak sia-sia menghadapi tembok yang menghambat aliran kata. akhirnya berhasil juga kamu tulis cerita yang enak dinikmati. ah, tak sabar menunggu rico dan ani

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here