Kemarin sore saya ikut datang di salah satu sesi dalam acara Salam Festival yang diadakan oleh Sekolah Alam Bogor, tempat teman saya Erfano mengajar, sekaligus melepas rindu dengannya dan beberapa kawan lain. Sesi mengenai berinternet ini dibawakan oleh Mataharitimoer (@mataharitimoer) dari ICT Watch, mengupas manfaat dan resiko penggunaan media sosial.
Media sosial memberikan banyak kemudahan dalam kehidupan kita, baik dalam hal-hal yang sifatnya personal maupun profesional. Namun, kita juga sebaiknya awas terhadap resikonya, yang bisa diminimalisir dengan beberapa upaya sederhana. Sayang, upaya ini belum banyak dilakukan.
Karena peserta di sesi ini sebagian besar remaja, pembahasan berfokus pada facebook sebagai salah satu media sosial. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar aman bersosialisasi dengan media ini, yaitu: hanya terima permintaan pertemanan dari orang yang dikenal, jangan asal unggah foto atau informasi dan sebaiknya cek juga pengaturan privasi akun kita, laporkan jika mendapat ancaman, dan menjadi diri sendiri.
Upaya nomor dua, yang terkait dengan privasi, belum banyak dilakukan. Penyebabnya bisa beragam. Selain kecenderungan yang taken for granted, menerima saja tanpa mau tahu lebih rinci, juga karena budaya kita lebih bersifat komunal. Ini tidak aneh. Sebagai salah satu negara di Asia, kita menganggap konsep privasi sebagai unsur budaya barat. Assar, Boughzala, dan Boydens membahasnya dalam Practical Studies in E-Government: Best Practices from Around the World (2010: 97).
Konsep privasi bukan sesuatu yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita merasa berhak tahu segala sesuatu mengenai hal-hal yang bersifat pribadi milik orang lain, anak-anak kita, teman, bahkan pasangan. Tak lagi peduli perbedaan antara sesuatu yang sifatnya publik dan privat. Dengan pemahaman seperti ini, sering kali kita tak menyadari bahwa menandai (tagging) teman tanpa persetujuannya itu melanggar privasi. Dan sebaliknya, jika mereka melakukannya terhadap kita, mereka juga telah menerabas wilayah pribadi kita. Hal ini bukan hanya terjadi di kalangan remaja, tapi juga di kalangan pengguna internet dengan kisaran usia lebih lanjut.
Media sosial dan internet dengan begitu banyak sisi positif seharusnya bisa kita optimalkan penggunaannya. Internet seharusnya membantu kita belajar dan berkarya. Untuk itu, perlu reorientasi penggunaan media sosial, yang semula hanya berfungsi sebagai catatan pribadi (personal diary) menjadi semacam jurnal warga (social journal); yang bukan tidak mungkin mengarah ke suatu gerakan sosial (social movement).
Kini, sangat mustahil kita sama sekali tak tersentuh internet. Tetaplah mengikuti jaman namun lakukan sesuai porsi dan keperluan, niscaya kita akan ‘sehat’ dan aman. Ada banyak bahan bacaan mengenai panduan berinternet di situs ICT Watch yang bisa diunduh dan diperbanyak. Gratis.
Yuk, jadi pengguna internet yang cerdas dan mulai peduli dengan keamanan dan kenyaman berinternet buat diri sendiri dan orang lain.
Wah…ulasan yang menarik.
Banyak hal yang perlu kita ketahui dan pelajari dalam etika berinternet…
terima kasih ulasannya