Sok Imut

Saya pernah menulis tentang dahsyatnya mulut. Bukan tentang apa yang kita sampaikan bisa meninggalkan jejak di hati dan benak lawan bicara, melainkan tentang bagaimana cara penyampaian suatu pesan. Bukan apa, tapi bagaimana. Ternyata benar, cara kita menyampaikan sesuatu sebaiknya memang disesuaikan dengan konteks suatu peristiwa tutur.

Bicara mengenai konteks sering kali mengacu kepada suasana dan siapa lawan tutur yang kita hadapi. Situasi formal menuntut bahasa yang berbeda dari situasi informal. Begitu pun sebaliknya. Perbedaan ini salah satunya bisa dilihat dari pilihan kata. Boleh saja kita memakai ragam sangat santai ketika berkomunikasi dengan sahabat, tapi tentu kurang tepat jika ungkapan itu dipakai dalam komunikasi dengan klien. Ini berlaku dalam komunikasi lisan dan tulis, dalam media resmi maupun media sosial. Penguasaan bahasa ini penting karena syarat mutlak yang harus dimiliki seorang individu untuk terlibat penuh dalam ruang publik adalah mengerti bahasa yang dipakai di dalamnya (Widiantini, 2009).

Variasi bahasa ini akan lebih kompleks jika kita melihat segmen penuturnya. Remaja memiliki ragam bahasa yang berbeda dari kalangan yang lebih tua usianya. Tepatkah mereka yang tak lagi bisa disebut remaja memakai bahasa remaja, dalam komunikasi dengan sebuah institusi seperti contoh di bawah ini? Anda pasti tahu jawabannya.

A: Kami sarankan Bapak/Ibu menghubungi nomor kami untuk pengecekan transaksi dimaksud. Terima kasih.
B: Hoke. Mamaci.
A: Terima kasih kembali.

Barangkali orang seperti ini ingin dianggap imut-imut, seperti para remaja itu. Barangkali juga mereka lupa, bahwa orang lain menilai kita salah satunya dari bahasa yang kita pakai. Jika tidak pada tempatnya, bukan kesan imut-imut yang didapat.

Belum lagi jika dikaitkan dengan gender. Perempuan dianggap sebagai penjaga dan perawat bahasa (Holmes, 1992). Perempuan diharapkan memiliki kepekaan yang lebih tinggi dalam berbahasa, termasuk dalam melihat diskursus apa yang sedang dihadapi (discourse awareness).

Nah, karena saya bukan lagi remaja dan melalui tulisan ini saya sedang berkomunikasi dengan Anda, para pembaca yang budiman; saya tak memakai “Mamaci uda bc.” Saya memilih “Terima kasih sudah membaca tulisan ini.”

Salam.