Tahun 2013: Bahasa Inggris dihapus

Suatu keputusan selalu menuai pro dan kontra. Itu sudah jamak. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah keputusan itu sudah dipikirkan dampak dan konsekuensinya, bukan hanya dalam jangka pendek namun juga jangka panjang. Salah satunya adalah rencana penghapusan mata pelajaran bahasa Inggris.

Dalam berita yang dilangsir VOA hari Kamis tanggal 29 Nopember 2012, dikatakan bahwa kelak mata pelajaran di SD hanya ada enam subyek yaitu Agama, Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, Matematika, Seni dan Budaya dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Alasan perubahan dan pengembangan kurikulum pendidikan dasar dan menengah ini adalah mengurangi beban siswa dan mengutamakan pendidikan karakter.

Mereka yang mendukung rencana ini mengatakan bahwa penguasaan bahasa asing adalah pengembangan penguasaan bahasa pertamanya. Jika penguasaan bahasa pertama sudah bagus, penguasaan bahasa asingnya juga akan demikian. Sedangkan mereka yang tidak setuju menyoroti betapa penting penguasaan bahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris) dalam era globalisasi nan serba maya ini. Barangkali yang perlu ditinjau adalah SDM (guru dan pihak yang terlibat) dan metode yang diterapkan.

Dalam dunia pengajaran bahasa, dikenal istilah critical hypothesis yang dikemukakan oleh Lenneberg pada tahun 1967, bahwa pembelajaran bahasa asing pada anak-anak menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding pada orang dewasa. Pada saat anak-anak memasuki masa pubertas, fungsi otak akan mengalami perubahan.

Kembali ke masalah SDM (guru), apakah sudah ada studi yang komprehensif mengenai penguasaan mereka mengenai bahasa Indonesia? Apakah mereka sudah mahir dalam penggunaan ragam bahasa lisan dan tulis? Sudahkah mereka paham penulisan di- sebagai awalan dan sebagai kata depan? Berapa banyak di antara mereka yang menggunakan kata merubah, alih-alih mengubah? Jika mereka belum menunjukkan kemampuan berbahasa Indonesia yang mumpuni, bagaimana mungkin siswa dituntut berbahasa Indonesia dengan baik dan benar? Hal ini juga berlaku pada pengajaran bahasa Inggris. Jika input yang diterima siswa tidak cukup baik, tidak adil menyalahkan siswa jika kemampuan berbahasa Inggrisnya tidak maksimal.

Terkait dengan pengajaran bahasa asing, Harmer (2007) mengemukakan beberapa sifat pemelajar muda ini. Mereka merespon makna suatu kata, belajar dari hal-hal selain yang diajarkan,  belajar dari apa yang merka lihat, dengar, sentuh, dan rasa, lebih menyukai topic mengenai diri dan lingkungan, dan memiliki masalah dengan perhatian. Belum lagi secara psikologis, mereka berbeda satu sama lain. Di kelas dengan 40 siswa akan ada 40 kepribadian yang berbeda.

Nah, jika demikian, solusinya terletak pada metode. Mengajar anak-anak tentu berbeda bila dibandingkan dengan  mengajar orang dewasa. Perlu metode yang menarik dan aplikatif yang merangsang siswa SD dengan rentang usia yang relative masih sangat muda ini untuk terlibat secara aktif. Kalau sudah begini, kurikulum dan materi juga akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengajaran.

Saya pribadi berpendapat penghapusan bahasa Inggris dari kurikulum sekolah dasar ini bukan solusi bijak. Dalam dunia pendidikan, siswa adalah konsumen. Mereka adalah end-users yang layak mendapatkan yang terbaik. Barangkali bolehlah dipikirkan upaya meningkatkan kemampuan guru bahasa baik bahasa daerah, bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris dan bahasa asing lain dalam hal mengajar. Kemampuan di sini bukan hanya penguasaan mengenai bahasa tersebut namun juga pada pemakaian secara aktif, termasuk pelafalan tentunya.

Satu langkah kecil yang boleh dicoba adalah mengubah stigma bahwa guru bahasa Inggris galak dan menakutkan. Jika siswa merasa aman, semua kemampuan yang dimiliki akan ditampilkannya secara maksimal.

8 COMMENTS

  1. Ada bahasa inggris aja banyak orang kita “keder” kalau kuliah ke LN atau ngobrol sama orang asing.. gimana kalau ngga ada hehe.. Dan inilah KEMENANGAN kursus bahasa inggris.. mungkin salah satu (atau banyak) pembuat keputusan tersebut mempunyai kursus bahasa inggris jadi ladang bisnis dia lancar karena anak2 yang MAMPU SECARA FINANSIAL bisa kursus dan anak2 yang tidak mampu silakan jadi katak dalam tempurung 🙂

  2. Mengenai penguasaan bahasa Indonesia di kalangan guru, sepertinya harus diuji, tuh. misalnya mengadakan tes menulis bahasa Indonesia. Hasilnya sepertinya akan mudah diduga.

  3. @unggulcenter: nah ya gitu deh. ….
    @MT: sudah dua tahun ini saya menjadi asesor di PLPG dan bisa lihat sendiri betapa mereka masih kerepotan menyampaikan gagasan dalam produk yang diminta (SPP, silabus, LKS, dll.)

  4. Interesting article, Mbak. Saya tidak setuju bila Bahasa Inggris dihapus dari kurikulum siswa SD. Saya percaya bahwa pada umumnya orang bisa belajar multi-bahasa dalam waktu yang sama. Namun, tingkat penguasaannya akan berbeda bergantung pada metode pengajaran (mana yang lebih menarik), praktek (mana yang digunakan lebih sering) dan preferensi pribadi+keluarga.

    Saya sendiri baru belajar Bahasa Inggris secara formal pada tingkat SMP, karena pada masa itu Bahasa Inggris belum diajarkan di SD. Namun saya sudah belajar Bahasa Inggris sedari SD melalui buku dan kamus dari orang tua serta acara televisi. Itu pun masih terasa kurang karena praktis Bahasa Inggris hanya dipraktekkan di kelas, pada saat mata pelajaran Bahasa Inggris.

    Kenyataannya, sekarang ini Bahasa Inggris menjadi bahasa kedua yang digunakan banyak orang sehari-hari. Mulai dari televisi dan internet. Dengan menguasai Bahasa Inggris, banyak hal lain yang bisa dipelajari lebih dini, tanpa harus menunggu terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Saat negara lain semakin terbuka pada dunia, kenapa kita membatasi kemampuan anak-anak untuk berkomunikasi dengan warga dunia?

  5. @nonadita: nah itu dia. menurutku menghilangkan bahasa inggris dari kurikulum SD dengan alasan meringankan beban siswa bukan solusi yang tepat. sekarang semua serba online dan ilmu dan pengetahuan yang ditawarkan sangat tak terbatas. seperti yang kutulis itu, mungkin yang harus ditinjau adalah guru, metode, buku dan hal lain yang terkait. kenyataannya di tingkat universitas pun masih banyak yang ingat betul nama-nama tenses tapi tak bis pakai dalam komunikasi. apalagi jika mulai diajarkan di SMP ya

  6. Sy berpendapat jngn dl lah utk english language d hapus gmn mau bgus pendidikan d kita wong bhs sj d perdebatkn bhkn klau boleh alokasi wktunya d tambh dn pemerintah hrusnya tepatnya kemenikbud dn kemenag mengirimkn tenaga ahli ke skolah utk mngajarkn bhs tsb…kan sdh pd tahu klau suatu negara ingin tahu kondisi negara orang maju apa blmnya maka hrus tahu dl bhs ngra tsb….ayo berjuang.

  7. Sangat disayangkan, mudah-mudahan dibawah kepemimpinan Menteri Pendidikan yang baru, ada kebijakan yang dapat mengubah kebijakan sebelumnya. Terlebih lagi pada akhir 2015 Masyarakat Ekonomi ASEAN akan diberlakukan yg membuat persaingat semakin ketat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here