Siang ini saya mendapat undangan ulang tahun. Bukan ulang tahun biasa, karena yang merayakan adalah suatu komunitas, sebuah teater. Sebuah tanda bahwa sebuah Teater Karoeng masih mempertahankan degup kehidupannya dengan semangat nyala lilin yang tersisa di tengah mobat-mabitnya jaman yang makin tidak peduli pada makna. Sungguh hal yang patut diacungi jempol bahwa di zaman ketika pasar menjadikan segalanya sebagai komoditi, masih ada anak muda yang tergabung dalam Teater Karoeng, yang masih peduli untuk tetap berkesenian.
Teater sebagai institusi menciptakan insan-insan kreatif, mandiri, dan berkarakter. Permainan pentas, blocking, olah vokal, olah tubuh, penghayatan peran dan bahkan dekorasi, tata lampu, tata rias dan tata panggung adalah bagian yang tidak terpisahkan di dalam kaitannya dengan kreatifitas. Kreatifitas itu sendiri merupakan salah satu proses di dalam pembentukan sifat kemandirian. Dunia teater adalah sebuah dunia alternatif yang kadangkala tidak banyak dipahami orang. Bahkan, dunia akademis tidak jarang menyebut orang-orang teater sebagai ‘pekerja seni’ yang kurang dapat dipahami tujuannya. Tapi justru di tengah ketidakpahaman orang dalam mengapresiasi kehadirannya, teater ‘terpaksa’ harus mandiri atau setengah mandiri. Bahkan ketika masa muda Rendra tahun 70an dengan teaternya terpaksa mendirikan sebuah komunitas dengan nama Perkampungan Kaum Urakan, menunjukkan bahwa sebuah teater adalah sebuah komunitas yang berusaha mencari jatidirinya sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya.
Bagaimanapun, kehadiran sebuah teater kampus bukanlah kehadiran unwanted. Masalahnya adalah bahwa permainan teater itu sendiri memerlukan tata ruang yang khas. Di dalam sebuah kampus, memiliki teater adalah sesuatu yang dilematis. Teater kampus itu sendiri sama seperti sebuah permainan yang memerlukan lapangan seluas sepakbola, sementara yang ada hanyalah sebuah lapangan seluas lapangan basket. Namun syukurlah bahwa permainan sepakbola pun bisa diubah menjadi permainan futsal sehingga bisa dikemas dan dimasukkan ke dalam lapangan selebar lapangan basket. Dengan demikian sejumlah modifikasi perlu dilakukan guna memenuhi keinginan semua pihak.
Para pekerja teater kampus tidak terlalu salah untuk disebut sebagai makhluk amphibian. Mereka hidup di dua alam: alam kampus dan alam teater. Di satu sisi mereka adalah mahasiswa yang tinggal di kampus dengan segala konsekuensinya harus belajar giat untuk lulus secepat-cepatnya dan mencari pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, sebagaimana harapan orang tua. Di sisi lain mereka mengabdi kepada seni panggung yang cukup menguras waktu dan perhatian yang boleh jadi berlawanan dengan peran pertama tadi.
Teater sebagai sebuah disiplin ilmu tentu memerlukan sebuah media pembelajaran dan pengkajian. Hal ini dapat dilakukan melalui apresiasi yang tentu saja tidak akan pernah dapat terealisasi bila peserta didik tidak bersentuhan langsung dengan seni ini. Para mahasiswa adalah para peserta didik yang telah membayar mahal untuk mendapatkan tidak hanya ilmu, khususnya ilmu budaya tetapi juga amal budaya. Tujuan pengajaran seni tentu tidak hanya sebatas menghafal di luar kepala sastrawan beserta karyanya. Pengajaran teater (atau drama) seyogyanya tidak hanya terkungkung dalam teori namun sudah mulai menyentuh ikhwal pementasan dengan segala aspeknya sehingga pementasan teater kampus menunjukkan kepada siapapun bahwa mempelajari teater tidak harus dilakukan dengan berkerut kening.
Tentu tulisan ini juga hendak membuka wacana bahwa pemerintah daerah, khususnya Dewan Kesenian dan Kebudayaan, bahwa perkembangan teater perlu didukung secara maksimal. Mungkin orang tua mereka adalah para pembayar pajak yang ikut andil dalam pembangunan kota, maka adalah hal yang layak bila para pekerja teater kampus ini diberi ruang di gedung-gedung publik, Kemuning Gading misalnya, tidak hanya untuk pentas tetapi juga untuk berlatih rutin.
Demikianlah. Teater kampus adalah sebuah spesies yang terancam punah oleh kesibukan kota yang lebih berorientasi ekonomi. Semoga kerja keras teman-teman yang tergabung dalam Teater Karoeng Pakuan memberikan motivasi dan dorongan kepada teater lain sehingga bukan tidak mungkin suatu saat Bogor tidak hanya dikenal dengan asinan, roti unyil dan toge goreng tetapi juga menyuguhkan teater sebagai atraksi pasiwisata.
Selamat ulang tahun!
Betul bu, terkadang memang sulit menterjemahkan dengan bahasa yang sederhana kenapa kami tetap berteater sambil kuliah, dan (mudah-mudahan) selepas kami kuliah. Tapi kepentingan teater sebagai sebuah bentuk kesenian-kebudayaan dan media pembentukan karakter juga mestinya sudah tidak perlu dipertanyakan.
Bahwa minimnya fasilitas di tengah tuntutan kebutuhan artistik dan pemeranan, seperti Ibu katakan, adalah hal yang mesti kami otak-atik dengan kreatif. Mungkin itu adalah salah satu tantangan yang sangat seru dan sering kali menjatuhkan bagi kami yang bergelut di dunia teater kampus.
Bagaimanapun, dukungan moril serta kritikan adalah hal lain yang juga amat kami butuhkan. Bimbingan dari para pengajar tentu bisa menjadi angin segar bagi kami yang sering resah dan mempertanyakan.
Semoga Teater Karoeng tetap ada bersama dan maju dengan Fakultas Sastra.
Salam,
kami dari Teater Karoeng turut senang telah ambil bagian dalam menghidupkan “alam teater” dan “alam sastra” khususnya di Kota Bogor. Namun kami akan sangat senang dan bangga jika insan muda lainnya dapat memberikan kontribusinya juga.
Doa yang sama dari komentar sebelumnya: semoga Teater Karoeng tetap ada bersama dan maju dengan Fakultas Sastra.
Salam.
@Husni Mubarok & Dimas Hadi: semoga semakin bertambah usia, teater ini juga semakin ‘dewasa’ dalam berpikir, bertindak dan tentu saja berkarya.
@wongkamfung: pacarnya pemain teater kali ya mas ..