Bahasa Indonesia ragam tulis dan ragam lisan adalah dua hal yang sangat berbeda. Keduanya dapat pula dibedakan berdasarkan sifatnya yang resmi dan tidak resmi. Pembedaan ragam ini penting artinya untuk menetapkan ciri pemakaian bahasa Indonesia yang baku, baik dalam regam tulis maupun ragam lisan. Namun kurangnya pemahaman masyarakat atas ragam-ragam ini menyebabkan kekeliruan pemakaian.
Banyak kita jumpai penggunaan ragam tulis dengan pola ragam lisan, atau ragam penggunaan bahasa Indonesia resmi dalam situasi tidak resmi. Ragam bahasa Indonesia baku adalah ragam bahasa Indonesia yang baik menurut situasi dan sasarannya, dan benar menurut kaidah pemakaiannya. Dengan demikian, pemakaian bahasa yang tidak baku di pasar dan terminal bukan sesuatu yang aneh. Di tempat-tempat ini memang situasinya sangat tidak formal. Berbeda dari konferensi, misalnya. Dalam forum formal seperti ini tentu bahasa yang dipergunakan adalah bahasa resmi.
Pemakaian bahasa sesuai dengan ragamnya erat kaitannya dengan produktifitas dan kreatifitas, yang maknanya sering dikacaukan satu dengan yang lain, karena memang keduanya saling bertautan. Bila kreatifitas muncul, produktifitas akan meningkat. Produktifitas dalam hal bahasa, selain menyangkut pembentukan kata baru, juga berkaitan dengan pembentukan kata atau kalimat baru dari kata-kata yang sudah ada. Layak kita cermati, apakah bentuk seperti betonisasi dan inulisasi bisa disejajarkan dengan imunisasi?
Hal ini tidak saja berlaku dalam pembentukan kata baru, namun diterapkan juga dalam penulisan karya sastra. Semakin kreatif seseorang dalam mengolah dan mengutak-atik kata, semakin produktiflah ia dalam menghasilkan tulisan, karena pada dasarnya proses penulisan karya sastra hanyalah proses mempermainkan kata secara wajar tanpa berkerut kening.
Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia
Bahasa Indonesia diajarkan di semua jenjang pendidikan, mulai dari tingkat dasar, menengah hingga pendidikan tinggi. Namun bila mereka dipaksa menelan teori bahasa dan sastra yang tidak berhubungan langsung dengan bidang ilmu yang ditekuninya, yang terjadi adalah siswa akan menganggapnya sebagai ilmu yang harus dipelajari untuk diujikan. Orientasi belajar hanya sebatas ujian, bukan kecakapan mempergunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, tidak ada yang tersisa lagi setelah ujian dilaksanakan karena pemahaman siswa mengenai bahasa hanya bersifat short-term memory.
Relevansi materi pengajaran dengan konteks kekinian haruslah menjadi pertimbangan mendasar. Minat siswa mempelajari bahasa dan sastra akan meningkat bila siswa melihat relevansi materi dengan kepentingannya, baik kini maupun masa datang bila kelak mereka bekerja. Dengan adanya kurikulum berbasis kompetensi, dan ditunjang dengan kurikulum terkini yaitu KTSP, sasaran pengajaran bahasa dan sastra yang mengarah pada kompetensi siswa menjadi lebih mungkin dicapai. Di sini pengajar dan lembaga pendidikan memiliki peluang yang lebih leluasa dalam mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensinya, yang pada akhirnya bermuara pada meningkatnya kompetensi anak didik.
Dengan kondisi seperti ini pengajaran sastra dengan menekankan ekstrinsikalitas dan apresiasi patut dipertimbangkan. Dengan demikian sastra tidak lagi sesuatu yang dihapal, diujikan dan dilupakan, namun menjadi sesuatu yang lebih produktif. Bila materi pembelajaran adalah cerita pendek, siswa tidak lagi dituntut hapal judul dan penulisnya, dari periodesasi mana dan karya lain yang dihasilkannya, melainkan diharapkan mereka mampu menghasilkan sebuah cerita pendek setelah proses pengajaran usai.
Sungguhpun demikian, hal ini tidak semudah membalikkan (sebuah) telapak tangan. Perlu banyak tangan yang berperan dalam merealisasikan mimpi ini. Pihak pemerintah adalah pemain utama sebagai pembuat kebijakan. Peninjauan kurikulum adalah salah satu dari sekian banyak yang bisa dilakukan. Kemudian pengajar, yang berfungsi sebagai ujung tombak pelaksanaan kurikulum tersebut. Dan yang tidak kalah penting adalah peran serta aktif dari para sastrawan untuk ikut memikirkan jalan keluar, misalnya dengan bekerjasama dengan lembaga terkait menggalakkan kembali program sastrawan masuk kampus/sekolah.
Namun tentu saja harapan ini bukan tanpa kendala. Banyak benturan yang dihadapi, satu di antaranya adalah materi yang diujikan dalam Ujian Nasional. Bila Ujian Nasional masih menjadi tolok ukur kelulusan dan dalam ujian tersebut masih mempergunakan soal yang mengharuskan siswa menjawab dengan jawaban yang dapat dengan mudah dihakimi sebagai benar atau salah, pengajar tidak melihat perlunya mengajarkan sastra secara lebih produktif dan apresiatif.
Perkembangan bahasa Indonesia
Dalam bidang bahasa, selain lembaga bahasa (baca: Pusat Bahasa), peran media masa nampaknya tidak dapat diabaikan, mengingat perkembangan bahasa Indonesia dapat dilakukan dalam tiga jalur. Di sini Maman menekankan lagi pendapat Anton M. Moeliono bahwa tiga jalur perkembangan itu adalah (1) yang terjadi di masyarakat, (2) yang terjadi dalam dunia pers, dan (3) yang terjadi dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, pantaslah dipertimbangkan sasaran, golongan masyarakat yang mana, dan dalam situasi yang bagaimana pada saat penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dipersoalkan.
Dalam masyarakat, fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sangat dominan. Begitu berperannya aspek komunikasi ini sehingga karang-kadang masyarakat mengabaikan pola dan aturan dalam bahasa Indonesia. Proses penulisan kata serapan, misalnya. Sering dijumpai kata-kata serapan dari bahasa asing ditulis sekenanya saja. Ambil saja beberapa contoh: fotocopy dan tubles. Contoh lain, pengucapan kata pasca sebagai /paska/, walaupun diketahui bahwa dalam bahasa Indonesia c tidak diucapkan sebagai /k/. Lalu, pemakaian kata mengkritisi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia jelas ditulis bahwa entri kritisi berarti kaum kritikus, sedangkan ‘mengemukakan kritik’ adalah mengkritik.
Berkaitan dengan perannya sebagai jalur perkembangan bahasa, media masa dapat menjadi penyambung lidah bagi program sosialisasi kata baru maupun proses pembentukan kata, di samping gaya media itu sendiri atau yang dikenal dengan gaya selingkung (house style). Di sini Maman menyuguhkan beberapa contoh, yaitu diperkenalkannya kata-kata pegolf, peboling, pedayung, dan ungkapan mesin gol. Barangkali, kalau saja media masa mempergunakan kata-kata mangkus dan sangkil alih-alih efektif dan efisien (yang lebih dulu dikenal), kedua kata tersebut akan semakin dikenal pemakai bahasa Indonesia.
Kalau ditarik benang merah antara judul dengan isi buku, terasa bahwa embrio gagasan dalam buku ini justru terletak di bagian Lampiran. Contoh makalah dengan judul “Beberapa Masalah Pengajaran Sastra di Sekolah” dan “Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah” lebih terasa sebagai roh buku ini. Dalam dua makalah tersebut, Maman membuka mata kita bahwa ada yang salah dengan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia dewasa ini.
Buku ini menyuarakan angin segar mengenai pengajaran bahasa yang lebih aplikatif dan pengajaran sastra yang lebih apresiatif. Pengajaran bahasa dan tata bahasanya seharusnya tidak diajarkan sebagai sesuatu yang terpisah dari pengajaran sastra. Dengan mengarang misalnya, siswa akan belajar mengenai penggunaan tanda baca, penulisan kata, huruf besar, pembentukan kalimat tunggal dan kalimat majemuk, dan aspek-aspek lain dalam bahasa. Dalam hal ini Maman merujuk kembali apa yang disampaikan oleh Sutan Takdir Alisyjahbana (1933) bahwa bahasa yang diajarkan di sekolah seharusnya adalah bahasa yang dipakai dalam kehidupan karena ”… pengadjarannja jang menghamba pada gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita masih berdjalan kaki dan naik bidoek jang repuh itu, mematikan segala minat kepada bahasa.” (halaman 209).
Pada halaman 210 Maman mengatakan bahwa “…mengajarkan sastra kepada siswa hendaklah dilakukan dengan cara menyuruh mereka membaca karya sastra itu (baik puisi, prosa ataupun drama) untuk kemudian mendiskusikannya dengan bimbingan guru. Jadi bukan dengan menghapal di luar kepala segala teori mengenai alur, tema, tokoh, latar dan sudut pandang. Bukankah tujuannya adalah apresiasi?”. Bila suatu saat diajarkan cara menulis puisi misalnya, sangat mungkin dilakukan dalam situasi gembira sehingga siswa akan menyadari bahwa menulis puisi tidak perlu berkerut kening (halaman 197).
Dalam pengajaran sastra dan kritik sastra, kita diingatkan kepada buku Maman sebelumnya yaitu Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia yang terbit pada tahun 2007. Ekstrinsikalitas dalam mengapresiasi karya satra melibatkan unsur-unsur di luar karya sastra itu sendiri. Karya sastra bukan saja dilihat dari tema, tokoh, sudut pandang, latar dan alur.
Menilik kembali judul yang diembannya yaitu Bahasa Indonesia Kreatif, kalau saja buku ini menjalani diet halaman yang memuat teori (yang memakan separoh jumlah halaman), tentu akan tampil lebih padat dan berisi. Niscaya ia akan tampil sebagai handbook yang sangat berbobot bagi pengajaran penulisan kreatif.
Buku dengan lima bagian yang sudah dikemas dalam subbab terpisah memudahkan pembaca menelusuri pencarian. Dua bab awal merupakan teori, disusul dengan tiga bab berikutnya yang berisi praktek dan aplikasi.
Dengan adanya bagian dan lampiran khusus tentang teori tentang bahasa dan sastra, buku ini memperkaya khasanah pengetahuan pengajaran keduanya. Dilengkapi dengan contoh-contoh, yang hampir semuanya sudah pernah dimuat di media masa, membuktikan tip, cara, metode atau apapun yang disampaikan oleh Maman memang layak direnungkan.
pada prinsipnya belajar, berpikir, membaca, dan ,menulis adalah satu paket yang tidak terpisahkan satu sama lain mbak utami 🙂 tetapi untuk selalu bisa konsisten mengerjakan semua itu perlu upaya yang tidak sedikit mbak 🙂 salam kenal yah 😀
@Blog Pengembangan Diri (mas Arif Gunawan): setuju banget. salam kenal kembali. thx sdh berkunjung.
senang bisa bersahabat dengan sesama blogger, btw, mau tukeran link gak mbak Utami? 😀
blognya keren . kunjungi blogku juga ya