Dua hari ini sangat menyenangkan. Saya bertemu sahabat dan mahasiswa lama. Sahabat lama pasti memberikan suntikan energi bagi siapa pun, tapi bertemu mahasiswa lama belum tentu demikian. Sebagai pengajar, bertemu mahasiswa lama bisa berarti banyak hal. Semoga pertemuan ini juga memberikan suntikan energi untuknya, sama seperti saya mendapatkan energi itu dari sahabat saya.
Saya dan sahabat saya ini memiliki banyak kesamaan. Seperti biasa, kalau sudah bertemu, perbincangan kami bisa dari A ke Z, lalu kembali ke A sampai Z lagi. Begitu seterusnya. Mulai dari pekerjaan dan karir, pola asuh anak, manajemen bisnis, sampai hebatnya dampak segala kecanggihan gawai (gadget) bagi kehidupan keluarga modern saat ini. Gawai bisa sangat membantu, namun di sisi lain bisa sangat menyiksa.
Salah satu hal yang saya sukai dari sahabat saya ini adalah impian kami memiliki teras belakang di mana kami bisa minum teh sambil membaca di pagi hari dan menikmati kuntum angrek bulan putih yang bermekaran, diiringi alunan musik. Tak bosan kami bicara mengenai mimpi ini. Sampai kapan pun.
Lalu, mahasiswa saya datang siang hari. Dzalika (@unidzalika) ini mahasiswa saya yang sempat tidak aktif karena asyik tenggelam dalam kegiatan menulis. Kali ini ia memberikan lagi buku karyanya bersama beberapa teman sesama penulis muda yang di antaranya saya kenal walau belum pernah bersemuka (hai @cappucinored!). Sebuah antologi kisah bertajuk Hilangnya Maryam.
Saya selalu salut dengan mereka yang passion menulisnya tidak habis-habis. Semoga setelah pertemuan dan perbincangan kami tadi, passion menulis tugas akhirnya juga berapi-api.
Hal menulis juga menjadi bahan obrolan dengan sahabat saya terkait dengan pola asuh anak. Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan oleh Tracey Tokuhama-Espinosa dalam The Multilingual Mind bahwa kemampuan berbahasa, berpikir logis dan matematika berada di domain yang sama, yaitu otak kiri. Keterkaitan ketiga hal itu demikian kuat.
Dengan berbekal keterkaitan kemampuan berbahasa dan berpikir logis itu, saya melatih anak-anak menulis sejak mereka mulai belajar menulis di sekolah. Saya memulainya dengan melatih menulis kata, frasa, sampai kalimat dan akhirnya mereka bisa menulis cerita mengenai peristiwa yang mereka alami atau lihat sehari-hari.
Memang benar, pertemuan-pertemuan ini memberikan energi. Saya pernah menulis tentang keberadaan orang-orang seperti ini yang saya sebut matahari. Saya tak bisa melihatnya setiap saat, tapi saya yakin mereka ada.
Namun, sebagaimana ditulis teman saya Melina, pertemuan semacam ini bisa juga menjadi sebuah tamparan. Tamparan supaya saya ingat akan draft buku yang tak kunjung tersentuh karena alasan cliché: sibuk. Tamparan yang menjelma dalam kalimat sederhana yang dilontarkan sahabat saya di sela canda hangat kami, “Bu dosen yang ngga nulis-nulis lagi.”
Ah! Saya jadi malu, semalu-malunya, pada buku dan anggrek bulan. Dua mimpi saya. 🙁