Tepat setahun lalu saya pernah menulis tentang critical literacy karena resah melihat berita yang terpapar di banyak media kala itu. Satu esensi yang sama bisa tampil dalam beribu muka. Akhirnya tak jelas lagi, mana fakta, mana yang rekayasa semata.
Kali ini kembali saya mengalami hal yang sama. Dengan memiliki akun di media sosial, mau tidak mau saya terpapar dengan begitu banyak informasi mengenai sesuatu. Tak terbayang betapa mereka yang memiliki akun dan aktif di semua media sosial harus berhadapan dengan begitu banyak informasi setiap harinya. Wow!
Media-media baru itu nyaris tak terhindarkan. Dan, sesuai namanya, kita pasti berhubungan dengan orang lain jika terhubung dengan media sosial, bukan? Demi kenyamanan diri sendiri dan orang lain, ada beberapa hal yang ada baiknya kita cermati ketika berbagi informasi.
Pertama, tentang sikap mental. Sebuah informasi seharusnya membuat kita menjadi lebih tahu. Tapi nyatanya tidak selalu demikian. Sebagian dari kita justru mengalami sebaliknya. Ini terjadi jika kita menelan saja apa yang kita baca, tanpa mau tahu apa dan siapa di balik sebuah berita. Itu kalau kita masih mau membaca. Sering kali kita hanya menekan tombol share atau retweet dengan (hanya) berbekal judul berita yang ada di tautannya saja.
Tyler (1998) menuliskan, “Information literacy refers to the ability to identify, find, evaluate, and use information.” Jadi, ketika membaca, kita diharapkan mampu menengarai, menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan sebuah informasi.
Warnick dalam bukunya Critical Literacy in a Digital Era (2008) menambahkan, literasi informasi ini juga termasuk membedakan informasi primer dan sekunder, mengecek akurasi isi dan sumber. Khusus mengenai sumber ini, meliputi keingintahuan mempertanyakan kredibilitas dan kualitasnya.
Kedua, tak kalah penting dalam hal literasi kritis ini adalah kemampuan linguistik. Kata terbakar dan dibakar, misalnya, tentu memiliki makna berbeda. Juga musala dan masjid. Jika memperhatikan tata bahasa dirasa terlalu berat, setidaknya kita paham arti kata-kata di dalamnya dan mengerti efeknya bisa saja berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Tidak semua orang memiliki pandangan yang sama.
Ketiga, pengetahuan faktual. Ada baiknya penelaahan juga kita lakukan mengenai fakta yang dibeberkan dalam suatu berita. Jangan sampai letak suatu wilayah pun kita tak tahu, sehingga tempat yang berada di bagian selatan kita sebut di bagian utara.
Banyak di antara kita yang memilih tak bersuara secara verbal. Bukan karena tidak peduli, melainkan karena menahan diri. Orang-orang seperti ini sadar bahwa mereka tidak tahu banyak mengenai peristiwa yang sedang hangat diperbincangkan. Mereka tahu apa yang mereka ketahui dan apa yang tidak.
Kembali ke digital critical literacy, kemampuan ini sangat penting mengingat semakin banyak sumber belajar yang kini tersaji melalui medium layar komputer atau gawai. Hinrichsen dan Coombs dari University of Greenwich mengembangkan sebuah kerangka yang diadaptasi dari model critical literacy yang mula-mula diusulkan oleh Luke dan Freebody.
Tentu segalanya akan berbeda jika kita terbiasa berpikir kritis, termasuk ketika membaca dan/atau menulis. Semoga demikian.
Gambar: www.teachthought.com
menarik nih, dan critical digital literacy seharusnya bisa disebarluaskan
mungkin tulisannya bisa dijabarkan lebih detail lagi mengenai bagaimana kita bisa melakukan critical digital literacy