Beberapa hari lalu saya menonton film Soekarno: Indonesia Merdeka. Ada beberapa alasan. Yang pertama, saya suka Soekarno. Kedua, saya suka Ayu Laksmi, seorang penyanyi dari generasi saya yang berperan sebagai ibunda Soekarno. Sebagai hiburan yang sekaligus menyajikan sebagian fakta sejarah, film ini menyisakan beberapa catatan, setidaknya bagi saya pribadi.
Catatan pertama adalah tentang pemeran, baik pemeran utama maupun pemeran pendukung. Sebagian pemeran dalam film ini menyajikan sosok yang berbeda dari imaginasi saya selama ini. Namun begitulah jika sebuah film diadaptasi dari buku atau kehidupan nyata. Lain jika ia memang sebuah wacana yang baru dibuat. Penikmat tidak punya referensi atau rujukan apapun untuk membandingkan segala sesuatu yang ada dalam film tersebut.
Entah mengapa seringkali saya terpikat dengan pemilihan pemeran dalam film-film asing, fiksi maupun non fiksi. Salah satu film yang bagi saya sangat berkesan dalam pemilihan pemerannya adalah Now and Then yang dirilis tahun 1995 dan di antaranya dibintangi oleh Thora Birch dan Melanie Griffith. Thora berperan sebagai Teeny kecil dan Melanie sebagai Teeny dewasa.
Catatan kedua terkait latar, baik latar tempat, waktu dan latar sosial atau dalam hal ini berperan sebagai konteks dari teks (film) itu sendiri. Film sebagai suatu wacana sudah selayaknya dimaknai bukan hanya dari tuturan antartokoh namun juga dari konteks yang membangunnya. Pemahaman akan film tentu akan dikaitkan dengan pengetahuan di luar film itu (Yule, 1996).
Nah, ini yang selalu saja ada yang terlewat. Kali ini, yang menggelitik datang dari selembar surat, surat perjanjian. Dalam film ini tertulis SOERAT PERJANJIAN, yang seharusnya SOERAT PERDJANDJIAN. Jika latar waktu adalah sebelum 1945, mestinya ejaan yang dipakai di Indonesia adalah ejaan van Opuijsen karena ejaan ini baru digantikan dengan ejaan Soewandi pada tahun 1947 (Kridalaksana dan Sutami, dalam Kushartanti et al, 2009). Ejaan ini menuliskan /j/ sebagai dj.
Begitulah. Sama halnya dengan jenis wacana lain, film sebagai sebuah wacana juga menuntut kepaduan. Tak hanya padu dalam segala yang disajikan dalam cerita, melainkan juga padu dengan konteks di luar film itu sendiri.
@MT: thx komennya tentang perbandingan itu, kang. hehe … sebenarnya detail ini dipersembahkan oleh rasa bosan. ilustrasi musiknya kurang bagus, kenceng terus tapi agak monoton.
@wongkamfung: terima kasih sudah singgah. Ayu Laksmi memang keren!
perbandingan pemeran dg film luar rasanya belum tuntas.
penulisan ejaan soerat perjanjian yg seharusnya soerat perdjandjian… hehehe.. detail juga nontonnya!
Saya menonton karena ada Ayu Laksmi. Mantan rocker generasi Nicky Astria yang sempat saya cari-cari karena menghilang dari blantika musik. Selain itu, saya ingin menikmati sejarah khususnya Soekarno dengan cara ringan dan tak banyak berpikir. Sayangnya, rias muka Soekarno terlihat tebal dan tak alami. Itu mengganggu kenikmatan saya dalam mengunyah film.
Tentang pemeran, sutradara tampak berusaha memilih pemain yang memiliki kemiripan wajah dengan tokoh. Itu detail yang memang wajib diperhatikan. 😉
Salam persahablogan,
@adiwkf