Akhir pekan yang sangat membahagiakan. Diawali dengan tegur sapa hangat dari sahabat kemarin pagi, temu kangen dengan beberapa sahabat yang datang dari Arizona pada siang hari, dilanjutkan dengan bincang buku pada sore harinya, lalu ditutup dengan kembali berbincang dengan sahabat lain pada malam hari. Lalu, dini hari tadi kesebelasan Jerman menjadi juara Piala Dunia 2014 setelah mengalahkan Argentina 1-0 berkat satu-satunya gol di menit 113 di stadion Maracana. Lengkaplah.
Lalu apa hubungannya dengan buku Jalan Lain ke Tulehu ini? Bagi saya, kaitan keduanya tak lain adalah bola. Tagline “sepak bola dan ingatan yang mengejar” di buku ini sungguh saya nikmati. Tentang bola dan tentang cerita lain di dalamnya.
Tak banyak yang tahu saya suka sepak bola. Dulu semasa kecil, hampir semua permainan anak laki-laki saya mainkan, termasuk sepak bola. Setelah beranjak remaja dan tak bisa lagi bermain, saya menikmati sebagai penonton. Suatu saat 25 tahun lalu, di rumah kos dengan 20 penghuni yang semuanya perempuan terjadi keributan. Televisi 14 inchi hitam putih satu-satunya yang biasa diletakkan di ruang bersama tak berdinding itu hilang. Mereka ribut dan baru kemudian mereka tahu kalau televisi itu saya bawa masuk ke kamar karena terlalu dingin menonton sepak bola seorang diri di tempat itu pada pukul 02.00 dini hari di tengah rinai hujan. Sampai sekarang, saya bisa ngobrol dengan mahasiswa saya tengah malam, hanya untuk membicarakan sepak bola. Termasuk ketika dua minggu lalu kami bicara mengenai tim unggulan piala dunia kali ini. Saya pegang Jerman, dan juara!
Ingatan lain adalah tentang kisah pedih di tahun 1998. Hati saya terlalu perih setiap membaca mengenai apa yang terjadi pada peristiwa itu, terlebih apa yang menimpa kaum perempuan. Lepas dari mana fakta dan mana fiksi, tetap saja fiksionalitas sebuah fakta atau faktualitas sebuah karya fiksi tetap membawa kita kembali merasakan segalanya pada masa itu.
Ada sesuatu di dalam buku ini (hlmn. 93-95) yang juga saya alami, yaitu tentang etnisitas. Sampai kini pun saya sangat tidak nyaman ketika ditanya saya orang mana. Bapak saya Sunda dan ibu saya Jawa. Apakah saya Sunda? Ataukah Jawa? Dan makin tidak nyaman karena ternyata masih banyak orang yang mempermasalahkan hal ini. So sad.
Kisah tentang Gentur yang lebih didominasi kegetiran dan kesepian ini dituturkan dengan apik oleh Zen dalam 292 halaman yang terbagi menjadi lima bagian. Pada halaman 222, Zen menuliskan:
Gentur kembali merasakan kesendirian yang dalam. Dia kini menyadari kehidupan pasca kepergian Maria hanyalah pengasingan yang menyakitkan. Dia tak lagi punya teman bercakap-cakap, berbincang, dan bercerita; sepeninggal Maria, perbincangan bersama Dudi semalam ialah yang terpanjang. Dia menyadari hidupnya telah menyusut menjadi begitu kecil, mengerut sedemikian rupa sehingga yang tersisa hanya setumpuk ingatan dan kenangan yang berlapis-lapis, silang sengkarut, berpilin-pilin seperti labirin yang berputar-putar di situ-situ saja. Tiada habis dan hanya Gentur sendiri yang bisa masuk labirin itu.
Dalam hubungannya dengan kolektifitas, Zen menulis (hlmn. 227):
Saling membagi ingatan dan kenangan itu hal penting yang mengikat satu sama lain ke dalam satu rasa hayat bersama. Di situ, dicari dan ditemukan persilangan-pertemuan ingatan dan kenangan, dan pada persilangan-pertemuan itulah rasa hayat bersama ditegakkan.
Ini menarik, karena banyak orang berharap terbangun rasa hayat bersama ini tanpa mau tahu ingatan dan kenangan orang lain. Bagaimana mungkin bisa terbangun rasa bersama jika yang dimaknai hanya kenangan pribadi? Bahwa orang lain itu penting. Tanpa orang lain, bagaimana kita hidup? (hlmn. 249)
Secara bahasa, novel ini keren. Dengan nuansa lokalnya, sudah bisa dipastikan banyak sekali kosakata dari bahasa daerah Maluku yang bertebaran di sana-sini. Selain bahasa daerah, ada juga beberapa kosakata dari bahasa Inggris. Istilah bidang apa lagi kalau bukan dari bidang sepak bola.
Sebagai penutup tulisan ini, bagi saya yang paling menarik dari semuanya adalah apa yang ditulis Zen pada halaman 276 bahwa, “… kehidupan bergerak bukan dari waktu ke waktu, melainkan dari suasana ke suasana.” Jauh lebih menyenangkan buat saya menghadirkan kembali semua ingatan dan kenangan ketika seseorang meremas jemari saya di suatu malam seusai gerimis reda. Bukan hanya pada tanggal, bulan, tahun, dan jam berapa peristiwa itu terjadi, namun pada bagaimana ingatan dan kenangan saya dipermainkan oleh suasana itu.
Judul buku: Jalan Lain ke Tulehu
Penulis: Zen RS
Jumlah halaman: 292
Penerbit: Bentang Pustaka
Aku juga suka buku ini. Cukup ringan untuk dibaca sambil ngopi tapi juga berisi.
Sepakat. 🙂
Jadi semangat untuk menyelesaikan membaca buku ini. 😉
Salam persahablogan,
@adiwkf
Bukunya asyik.
[…] What a night! It’s emotionally driven. Kelak, akan lebih menyenangkan mengembalikan semua ingatan akan kenangan dan suasana malam itu bukan hanya pada tanggal, bulan, tahun, dan jam berapa acara itu terjadi. Persis seperti apa yang saya tulis dalam tulisan sebelumnya. […]
[…] jadi ingat, tepat setahun lalu saya menghadiri bincang buku Jalan Lain ke Tulehu, dan sangat terkesan dengan apa yang ditulis Zen. “Kehidupan bukan bergerak dari waktu ke waktu, […]