Langit Imajinasi

Setelah sekian lama, kembali saya menikmati sebuah pertunjukan. Kemarin sore, ditemani suami dan anak-anak, saya menonton pentas monolog sahabat saya Indri Guli (@indriguli). Sebuah selingan bergizi di tengah rutinitas tak henti dari hari ke hari. Bersentuhan dengan dunia seperti ini adalah salah satu cara saya menikmati hidup. Jadi, kalau masih ada yang bilang hidup saya monoton karena hanya bergelut dengan buku, sebaiknya kita ngopi deh. 🙂

Saya ikut teater sejak SD hingga lulus kuliah, dan berpikir keikutsertaan dalam kegiatan itu bukan hanya melulu soal tampil di depan banyak orang, tapi banyak hal yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan. Olah nafas dan vokal, blocking, artikulasi, gesture, sampai bagaimana orang lain dan bekerja dalam tim bermanfaat sampai kapan pun.

Teater adalah seni, dan sebagaimana seni lain, tidak semua orang berminat menjadi penikmat, pemain atau sekadar pernah tergabung dalam teater. Orang awam mungkin menganggap mereka yang kuliah di fakultas sastra sudah sewajarnya mengakrabi seni ini. Sama sekali tidak demikian. Suami dan anak saya adalah contohnya. Mereka kuliah di fakultas sastra dan mereka tidak tidak dekat dengan teater.

Mari kembali ke pentas hujan monolog kemarin sore. Pertunjukan itu menampilkan beberapa monolog. Pementasan Indri Guli adalah salah satunya. Ia membawakan “Kenang-kenangan Seorang Wanita Pemalu” karya W.S. Rendra, dengan sutradara Ido Simbolon di bawah bendera “Langit Imajinasi.” Saya suka nama ini. Benar sekali, hanya langitlah batas imajinasi kita.

Langit imajinasi
Kisah ini bertutur tentang cinta dan kesetiaan. Betapa seorang perempuan bisa berteman cinta dalam remang, gelap dan sunyi tanpa tahu jarak menuju pertemuan itu sejauh apa. Ia gigih menantikan pertemuan yang hanya mungkin terjadi di luar dunia ini.

“Cliché,” komentar anak saya. Begitulah, nak. Cinta memang cliché, tapi cara kita merawatnya sama sekali bukan hal sepele. Kelak kau akan paham, ada pribadi-pribadi berhati karang yang tabah menggenggam cinta dan merawat rindu sepanjang usianya. Seperti imajinasi yang hanya bisa dibatasi oleh langit, cinta pun demikian. Tak ada yang bisa membatasi sedalam apa kau ingin cinta itu lebur dalam darah di seluruh nadimu.

Bravo, Guli!

1 COMMENT

  1. “… ada pribadi-pribadi berhati karang yang tabah menggenggam cinta dan merawat rindu sepanjang usianya. Seperti imajinasi yang hanya bisa dibatasi oleh langit, cinta pun demikian. Tak ada yang bisa membatasi sedalam apa kau ingin cinta itu lebur dalam darah di seluruh nadimu.” Saya merinding Bu, bacanya. Tulisan Ibu bagus sekali, membekas dalam hati.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here