Minggu lalu saya dihadapkan pada sebuah pilihan: menemani anak yang sakit atau menghadiri acara baca puisi rutin yang diadakan komunitas Malam Puisi Bogor. Saya memilih yang pertama. Alasannya jelas, saya masih bisa menikmati Malam Puisi Bogor di lain waktu, tapi bersama anak ketika dia membutuhkan adalah sesuatu yang luar biasa.
Seperti halnya komunitas serupa di kota-kota lain, Malam Puisi Bogor juga menggelar acaranya secara rutin. Komunitas ini memakai tagline “Datang, dengar dan bacakan puisimu”. Mereka yang datang boleh hanya mendengar, boleh juga membaca puisi. Bebas.
Format seperti itu mungkin sama dengan kota lain, yang berbeda adalah kemasannya. Komunitas ini berusaha mengemas acara menjadi sebuah paket yang bukan saja menjadi kesempatan belajar bagi mereka yang ingin belajar, namun juga menyuguhkan oase bagi mereka yang merindukan pembacaan puisi.
Banyak penampil memanjakan mata dan hati saya dengan beragam gaya. Beberapa di antara mereka mulai menjadikan pembacaan puisi sebagai bentuk seni dan bentuk publikasi secara bersamaan. Walaupun Wojahn (1985) menyebutnya tidak lagi artistik, namun saya menikmatinya. Sah, dong. Bukankah Bryant & Vorderer (2013) mengatakan keadaan emosi seseorang sangat ditentukan oleh peristiwa yang dialaminya? Siapa yang tak riang menghadiri acara yang disenanginya?
salut sama teman2 Malam Puisi Bogor yang mengemas kegiatan bukan sekadar kopdar, tetapi meng-organize sebuah pertunjukan
pendengar: bener, kemasan acaranya keren!
MPB itu hiburan setelah menjalani rutinitas nguli. 😉
Salam persahablogan,
@adiwkf
@adiwkf: buatku, juga mengobati kangen pada masa sekian puluh tahun lalu ketika puisi dan teater sangat akrab denganku 🙂
Salut, baru denger udah kepincut. Kapan ada acaranya lagi, Kabarin donk