Saya pengguna media sosial. Tidak banyak, tapi cukuplah untuk membantu keperluan saya bekerja dan bersosialisasi dengan kerabat dan sahabat. Saya juga merasa masih bisa mengendalikan diri dan berniat menjaganya tetap begitu. Kalau kadang-kadang lupa diri, ya namanya juga manusia. Wajar. 🙂
Media, termasuk media sosial, sudah mendominasi kehidupan kita. Begitu kurang lebih yang dikatakan Adrian Monck dalam buku Can You Trust the Media?. Bahkan, waktu yang kita habiskan untuk media lebih banyak dibanding waktu untuk keluarga. GlobalWebIndex (2015) juga mengabarkan hasil survei bahwa kini kita menghabiskan waktu lebih lama di media sosial dibanding menonton televisi.
Kita sudah mahfum bahwa etika dalam dunia online tidak jauh beda dengan etika komunikasi offine. Menyampaikan apa, kepada siapa, latar belakangnya apa, dalam konteks apa, dan sebagainya. Semua sama. Yang beda hanya medianya.
Dan di era media baru, pemilik akun bukan hanya individu melainkan juga korporat. Melihat dominasi media ini, pemegang akun korporat memiliki tanggung jawab lebih besar karena membawa nama perusahaan yang diwakilinya, selain dirinya sebagai individu.
Walaupun awam tentang profesi buzzer, tapi saya tahu ada saatnya yang kita baca di media sosial itu adalah rekayasa. Untuk melejitkan sesuatu atau seseorang, sebagian berperan sebagai protagonis dan sebagian lagi antagonis. Baik dan buruk.
Satu hal yang mengganggu adalah pemakaian bahasa yang dipakai pemilik akun. Saya sih kurang nyaman membaca “Kalau kere, jangan main ke mall ya kakak” yang ditulis oleh akun pusat perbelanjaan besar di Jakarta itu. Entahlah dengan orang lain.
Juga cuitan ini. Di saat sianida menjadi perbincangan karena merenggut nyawa, akun korporat membuat candaan seperti itu. Bercanda untuk sesuatu yang sangat serius itu salah satu contoh pelanggaran maksim cara (maxim of manner). Pesan menjadi tidak efektif. Paul Grice mengatakannya demikian.
Media dan massa tidak bisa dipisahkan. Media dibuat oleh dan untuk keperluan massa, dan massa membutuhkan media dalam segala segi kehidupannya.
Dan sebagai massa, saya merasa harus menjadi lebih cerdas membaca media saat ini. Media apa pun. Cerdas memilih dan mencerna, supaya asupan nutrisi untuk jiwa terpenuhi.
O ya, saya tidak merasa kere, jadi sesekali bolehlah main ke mall. 🙂