Membaca Mata

Salah seorang teman saya berkomentar, “Kamu sekarang jarang baca buku. Aku tak pernah lihat kamu baca atau bawa buku.”  Saya jawab, saya tetap membaca, dengan atau tanpa sepengetahuannya, karena buat saya membaca memuaskan dahaga jiwa. Meski begitu, ada saat tertentu saya memilih tidak membaca.

Ada beberapa alasan ketika saya memilih tidak membaca. Pertama, membaca lebih nikmat ketika saya sendiri, ditemani kopi dan musik yang membangun suasana hati . Kalau setelah itu saya terlibat dalam suatu diskusi, itu soal lain. Kedua, secara etika tentu tidak elok kita tenggelam dalam keasyikan membaca sementara sedang bersama orang lain. Bisa jadi, itu adalah sebuah pertemuan yang sangat saya nantikan, atau dinantikan oleh orang lain ini.

Sebenarnya alasan kedua itu tidak begitu menjadi masalah untuk orang-orang auditoris. Mereka mampu melakukan pekerjaan lain (membaca) dengan tetap terlibat aktif dalam pembicaraan. Namun, pada kenyataannya kita tidak selalu bertemu dengan orang-orang demikian. Mereka sering kali merespon dengan “Hah?” atau “Apa?” atau kalimat lain dengan makna yang kurang lebih sama.

Ini juga terjadi di kelas. Sebagai pengajar, saya tahu ada mahasiswa yang termasuk tipe pembelajar visual, auditoris dan kinestetik. Mereka yang auditoris bisa dengan lancar mengikuti perkuliahan meski selama proses belajar terlihat seolah tidak memperhatikan sepenuhnya. Yang merepotkan adalah mereka yang pura-pura auditoris.

Dulu, ketika Afrizal anak sulung saya duduk di sekolah dasar, saya pernah diajak bicara oleh wali kelasnya. Pak guru ini mengatakan, “Putra ibu tidak memperhatikan. Dia asyik sendiri menggambar (doodling) dan membuat sketsa atau menulis cerita.” Lalu saya balik bertanya, “Bagaimana dia mengikuti pelajaran dan bagaimana pencapaiannya?” Ternyata anak saya baik-baik saja. Pertanyaan yang diajukan kepadanya bisa dijawab dengan baik, nilainya bagus, kegiatan ektrakurikuler lancar dan catatan kepribadiannya juga tidak masalah. Yang tidak selalu dilakukannya adalah memandang ke arah gurunya ketika gurunya ini sedang menerangkan.

Kembali pada urusan membaca. Ada orang-orang yang bisa dengan mudah melanjutkan bacaan setelah berpaling dan berbincang sejenak dengan kita. Sebaliknya, ada juga yang sangat sulit melakukan ini.

Membaca adalah sebuah ketrampilan yang kompleks dan rumit, yang mencakup dan melibatkan ketrampilan serangkaian ketrampilan-ketrampilan yang lebih kecil (Tarigan, Menulis Sebagai Satu Ketrampilan Berbahasa).

Ketrampilan ini sangat mungkin dilatih sejak dini. Persis sama seperti saudara dekatnya, yaitu ketrampilan menulis.

Salah satu yang bisa dilatih adalah teknik membaca cepat (speed reading). Reyhan, anak kedua saya, ketika masih duduk di bangku SMP membaca novel setebal lebih dari 1000 halaman dalam tempo tiga hari. Itu dilakukannya sepulang sekolah sampai selepas isya.image

Jadi, kalau saya tidak membaca buku (cetak atau e-book) ketika sedang bersama Anda artinya saya sangat ingin menikmati kebersamaan itu. Saat-saat seperti ini lebih menarik membaca mata sebagai jendela hati. Atau membaca genggaman tangan. Lewat mata dan genggaman tangan kita bisa berdialog lebih banyak dibanding kata-kata yang ada dalam buku.

Pun sebaliknya. Ketika sedang bersama saya, maukah Anda hadir seratus persen? Anda bisa membaca nanti, bukan? Kecuali Anda adalah superman.

Image: Whitehole Asia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here