Memuji dan Memuja di Tanakita

Saya pernah menulis mengenai diagram Venn, bahwa hidup kita ini sangat serupa dengan diagram ini. Ada beberapa ruang dan ada kalanya ruang itu saling bersinggungan. Ada ruang privat (pribadi) dan ruang publik, yang jangkauannya berjenjang dari yang paling kecil yaitu keluarga, lalu ke pertemanan, dunia kerja, sampai ruang yang benar-benar ruang publik seperti kita temui di tempat-tempat umum.

Kemarin, saya menikmati diagram Venn ini. Camping bersama keluarga dan teman-teman plus keluarga mereka di Tanakita, Sukabumi, membuat saya menikmati beberapa ruang sekaligus.

Tanakita adalah camping ground dengan luas area 2 hektar, terletak di depan Taman Nasional Gede Pangrango, Kadudampit, Cisaat, Sukabumi. Berada di kaki gunung, lokasi Tanakita berada di ketinggian 1.100 dpl, dengan kondisi cuaca rata-rata 20° –22°C (siang hari), 18° –20°C (malam hari), dan kelembapan 85%.

Isep Kurnia (43), camp manager, memaparkan bahwa kegiatan yang diselenggarakan oleh Tanakita bukan hanya kegiatan yang termasuk dalam menu yang ditawarkan seperti high rope, river tubing, trekking dan beberapa aktivitas lain, namun ada juga kegiatan sebagai bentuk kerjasama dengan pihak luar. Salah satunya adalah dengan AZ Communication Designs dengan program beasiswa internasional Seeding Realities, berupa pertukaran budaya dan profesional antara India, Vietnam, Indonesia, Argentina dan Spanyol.

Isep, yang juga sebagai CEO of Rainforest Recording Project – Cultural Exchange, menambahkan bahwa program yang sudah berjalan selama dua tahun ini merupakan proyek berkesinambungan dalam merekam dan merespons alam sebagai cara berdialog dengan alam untuk mempelajari terus apa saja potensi yang ada di hutan dan lingkungan sekitarnya. Proyek ini merupakan bentuk pengarsipan berbagai format rekaman audio dan visual dari alam seputar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang bisa dikembangkan dan bermanfaat bagi warga setempat beserta segenap ekosistem yang ada di sekitar.

Kembali ke soal “diagram Venn” yang saya nikmati di camping ground kemarin, dari obrolan yang sangat acak saya ingat satu hal: memuja dan memuji. Dua kata yang hanya berbeda satu segmen bunyi ini maknanya berbeda. Arti kata ini bisa dicek di KBBI, tapi saya pribadi sih sependapat dengan apa yang dikatakan Mas Gino, bahwa memuji mengacu pada kata-kata yang kita ucapkan sedangkan memuja berasal dari hati. Jadi, logikanya pujian itu lahir dari hati.

Itu logikanya. Namun, tidak selalu demikian. Ada kalanya kita memuji karena banyak alasan lain. Sebaliknya, kita tidak memuji bukan berarti tidak memuja. Namun, saya percaya pujian-pujian yang saya dengar selama tiga hari kemarin lahir dari hati yang memuja. Bahkan yang tidak memuji pun pasti hatinya memuja. 🙂

Untuk Mas Andi, Mbak Ika, Avila, Alya, Mas Gino, Mbak Tinna, Gerry, Grammy, Mas Kur, Mbak Anna, dan last but surely not least Mas Adi: terima kasih untuk segalanya. Sungguh suatu kesempatan yang menyenangkan menikmati kabut dan kopi bersama kalian.

Khusus untuk teman setenda saya: terima kasih untuk yang tidak terwakili oleh kata-kata. Happy anniversary.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here