Beberapa hari yang lalu saya diajak sahabat saya, WKF, mengikuti acara napak tilas yang diselenggarakan Komunitas Napak Tilas yang memiliki slogan “Nyukcruk galur mapay laratan” dalam ekspedisi bertajuk Napak Tilas VI: Jejak Tradisi Megalitik di Gunung Salak. Dan seperti sebuah kebetulan, ajakan ini datang tatkala saya absen jalan pagi dan senam selama beberapa minggu. Hitung-hitung rapel olah raga.
Karena menemui beberapa kendala kecil, kami terlambat sampai di tempat. Tali backpack masuk ke rantai motor dan beberapa acara pernikahan menyebabkan kami terhenti dan mencari jalan alternatif. Kami bertemu di meeting point yang sudah disepakati, di halaman Tenjolaya Park. Ketika kami sampai, acara pengarahan dan berdoa sudah hampir selesai. Setelah briefing, rombongan yang terdiri dari teman-teman dari komunitas Napak Tilas, perwakilan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Bogor, dan dari Balai Pelestarian Peninggalan Prasejarah memulai perjalanan.
Ada beberapa situs megalitik di lereng Gunung Salak, namun kerana terbatasnya waktu tak semuanya kami kunjungi. Situs-situs ini sebagian besar berupa menhir, yang oleh masyarakat sekitar disebut batu tangtung. Sedangkan lingkungan situs itu sendiri terkenal dengan sebutan kuburan si kabayan, justru karena mereka tidak jelas tahu ada apa di area ini.
Situs pertama adalah Punden Pasir Manggis I. Dari halaman Tenjolaya Park kami menyusuri jalan setapak dalam arti yang sebenarnya. Bahkan untuk berjalanpun kami harus menyilangkan kaki secara bergantian. Dalam perjalanan yang memakan waktu sekitar tiga jam ini ada tempat pemberhentian, yang terletak di tengah hutan pinus, untuk beristirahat sejenak.
Punden Pasir Manggis I menempati areal yang sempit dan diapit oleh tiga jurang. Situs ini berupa punden berundak tiga, berukuran 5×3 meter dan menghadap ke utara. Di sini terdapat sekitar 14 menhir berbagai ukuran. Di sebelah bawah Punden Pasir Manggis I terdapat Punden Pasir Manggis II. Karena letaknya sebelum Punden Pasir Manggis I, Punden Pasir Manggis II sering diasumsikan sebagai teras Punden Pasir Manggis I. Punden ini hanya terdiri dari satu tingkat, dengan batu penyusun yang sudah hilang dan menhir tinggal dua buah.
Dari situs pertama kami berjalan menyusuri jalan setapak yang relatif lebih lebar dibanding jalan yang kami tempuh sebelumnya. Namun, karena hujan mengguyur Bogor dan sekitarnya pada malam sebelumnya, jalan setapak yang tertutupi daun-daun kering ini cukup berbahaya. Bahkan, beberapa di antara kami sempat terpeleset.
Komplek Batu Bergores, atau Batu Gores, terletak di lereng yang cukup terjal. di tempat ini juga terdapat banyak menhir berbagai ukuran. Di sekitar tempat ini juga terdapat mata air yang sangat jernih.
Situs selanjutnya adalah situs Cibalai. Masyarakat sering salah kaprah dengan menyebutnya sebagai komplek Arca Domas. Sebenarnya, komplek Arca Domas terletak di desa Sukamanah, kecamatan Megamendung kabupaten Bogor. Domas berasal dari bahasa Sunda kuno, dua omas. Omas sendiri artinya empat ratus. Jadi konon, di tempat ini terdapat sekitar 800 arca. Padahal, setelah diinventarisir, hanya terdapat sekitar 100 arca. Sedangkan di tempat ini, sama seklai tidak ditemukan arca.
Situs Cibalai menempati area yang cukup luas dan merupakan punden berundak dengan komponen yang cukup lengkap. Teras utama berada di undakan paling tinggi dengan beberapa batu menhir di atasnya. Situs ini pertama kali dilaporkan oleh de Wilde (1830), Junghuhn (1844), Muler (1856) dan terakhir oleh NJ Krom dalam Rapporten Oudheidkundige (1914).
Dibanding situs-situs lain, situs Cibalai merupakan situs yang paling populer dans ering dikunjungi masyarakat. Bahkan wakil gubernur Jawa Barat saat ini juga sempat meninjau lokasi ini. Namun sayang, dari semua yang datang ke tempat ini tak semuanya memiliki niat yang sejalan dengan aspek pemeliharaan benda cagar budaya (BCB). Pada tahun 2008 sekelompok orang membuat prasasti palsu yang ditempatkan di situs ini.
Situs terakhir terletak di samping rumah penduduk, terdiri dari punden berundak dan beberapa batu menhir di atasnya, yang disebut Endong Kasang. Untuk menghindarkannya dari tangan-tangan yang tidak beranggungjawab, situs ini (dan situs Cibalai) dikelilingi dengan kawat berduri.
Perjalanan kami kali ini berakhir di sini. Ditemani hujan besar dengan petir yang menggelegar dan angin kencang kami kembali ke Bogor. Jas hujan yang kami pakai tak lagi mampu melindungi kami dari air hujan. Tapi badan yang menggigil kedinginan sedikit terhangatkan oleh semangkuk tongseng ayam yang sengaja kami cari sebelum kami tiba di rumah.
Perjalanan ini ibarat penyegaran jiwa dan raga. Badan saya segar karena bersentuhan dengan aroma gunung dan jiwa sayapun melihat sesuatu yang sebelumnya hanya pernah saya baca dari buku sejarah, menhir!
@wongkamfung: kirain komennya yang panjang, taunya …