Pagi ini ada yang mengatakan hal menarik kepada saya. Konon, orang yang mencantumkan kutipan dalam tulisannya itu tidak percaya diri. Saya begitu. Apakah artinya saya tidak percaya diri?
Buat saya, soal kutip-mengutip bukan hal kecil. Saya bawel mengenai ini, baik kepada mahasiswa saya maupun kepada anak-anak saya. Ijinkan saya menuliskan beberapa alasannya.
Pertama, secara garis besar tulisan terbagi dua: fiksi dan nonfiksi. Dalam tulisan fiksi tentu sangat mungkin penulis tidak mencantumkan kutipan, namun dalam tulisan non fiksi sama sekali bukan hal yang aneh jika penulisnya menyertakan kutipan. Kutipan bisa berupa data, bisa juga referensi acuan.
Saya pernah menulis puisi dan cerpen. Puisi saya memang tidak memuat kutipan, tapi dalam cerpen yang di dalamnya berkisah tentang perempuan penyuka anggrek bulan saya membaca referensi tentang bunga itu. Penulis yang karyannya kita baca pasti melakukan riset mendalam sebelum menuangkan gagasannya menjadi sebuah karya. Riset ini berupa riset lapangan dan riset pustaka.
Kedua, saya bukan siapa-siapa. Bukan profesor, bukan pula pesohor. Saya kira sangat wajar jika saya mengutip sesuatu yang memang bukan buah pemikiran saya. Di sini saya berusaha memegang etika dengan tidak mengakui karya orang lain sebagai karya saya.
Selain itu, dalam setiap bidang pasti ada istilah teknis yang baku. Ketika menulis mengenai istilah-istilah semacam ini, sangat wajar jika kita mencantumkan referensinya.
Ketiga, selain karena alasan personal, saya melakukan poin kedua itu dalam rangka mengajak mereka yang berada dalam rengkuhan saya (anak-anak dan mahasiswa saya) untuk melakukan hal serupa. Saya sangat ingin mereka menghargai karya orang lain dan memahami bahwa sebuah karya dihasilkan dengan kerja keras. Sungguh jahat mengakui karya orang lain sebagai karya kita dengan tidak mencantumkannya dalam tulisan yang jelas-jelas memuat pemikiran mereka.
Jadi, menurut saya, semua tergantung konteks. Mengutip pun demikian. Tidak semua tulisan harus mencantumkan referensi acuan, namun tidak semua tulisan harus niracuan. Begitu.
Betul bu setuju tergantung konteksnya
kenapa kita perlu megutip?