Mengunjungi Kenangan

Seperti yang saya tulis di post sebelumnya, saya sangat menyukai bagaimana ingatan akan kenangan dan suasananya membuat saya merasa hidup. Kali ini sajak kiriman seorang teman setelah berpisah 26 tahun ini mengajak saya mengunjungi kenangan-kenangan itu. Indah. Terima kasih, Sapto!

SAJAK-SAJAK UNTUK UTAMI UTAR
Dionisius Sapto Nugroho

1.Salatiga

Tanah di kota ini telah membentuk tulang dan daging kita
Kabut-kabut lembut yang meruap dari gunung dan bukit-bukit
Telah menghidupi kita sejak dari jalan-jalan sunyi kota
Yang tak berdebu kerna hujan selalu membekuknya lebih dulu
Entah kau masih ingat tidak pada angin bulan Juli
Yang menderas dari puncak Merbabu membasuh kota kita
Dengan sulur-sulur dingin yang membekukan dan membuatku
Selalu terkenang betapa manisnya liburan panjang sekolah
Tidak kemana dan berdiam dalam kota berteman dengan angin yang berderak
Dan udara yang dingin jekut

Bertahun-tahun sebelum aku membaca Rob Krier bertutur tentang urban design
Bahwa kota bertumbuh dalam aras organik
Aku selalu termangu setiap menyusuri kotamu ini
Dari lorong-lorong pasar baru
Ah.. atau pasar wetan seorang sahabat menyebutnya dari kampung renteng
Dalam becek dan kelamnya lumpur yang merembes dari sandal jepit
Yang kupijak dengan hati tercekat
Aku selalu menikmati setiap penggal meja meja kayu usang dan
Wajah wajah vernacular yang membentuk ruang spasial di dalamnya
Aih aku jadi terlalu teknis ngurban desain ya..ini gara gara agitasi akademik
Dari Pak Ardi Pardiman dosenku di kampus bata merah UGM
Yang selalu ceria bertutur tentang budaya Bali Aga
Tentang grid nawa sanga, tentang yang transenden dan profan
Tahukah kau aku lebih nyaman mengenang dua malam menginap
Di rumah asrinya di Surabaya
Waktu bantu Pak Yoyok survei rumah susun Dupak dan Sombo
Untuk tesis masternya di Osaka University

Salatiga adalah bentang urban yang di atasnya kita telah menuliskan separuh langkah
Hidup yang menjejakkan kita hingga kita ada kini
Namun selalu ada yang hilang kalau kita merengkuh lagi kota ini
Ada rindu yang mengiris nadiku kalau kuingat:
Rumah blok H 36 nanggulan, kolam benoyo, sekolah dasar cungkup,
Persewaan buku di dekat jalan pemotongan, kebon kopi dan hutan pinus di samping sekolah
Pangudiluhur, dan tentu saja lorong lorong kelas SMA satu
Tenpatku telah berdosa menjadi pencuri pandang rambutmu yang menggapai pinggang

2.Kartasura

Tak ada yang bisa kuceritakan lebih tentang kota ini
Hanya sebuah waktu tatkala pulang dari Jogja ke Salatiga dalam masa liburan kuliah
Satu kenang yang kutulis di halaman tiga buku kumpulan puisi
Lautan Jilbab karya Emha Ainun Najib milikku
“mengenang seorang gadis berjilbab
Teman seperjalanan dalam bis
sepanjang Kartasura-Salatiga
Yang memberiku sebutir jeruk “
Dari puisi Emha aku tahu bahwa jilbab berdasar pada surah Aan Nur-surah cahaya
Bahwa membungkus diri dengan jilbab adalah mengembalikan entitas diri
Pada keagungan misteri cahaya
Dan itu adalah engkau, memberikan cahaya kepada semua makhluk
Seperti yang kautuliskan dalam blogmu, dalam kolom satusmu di facebook
Betapa cintamu yang begitu meruap pada anak-anak lanangmu bisa membuat
Semua pohon di kebun raya Bogor bernyanyi riang
Ya kamu seperti gadis berjilbab itu yang memberiku sebutir jeruk dan aku malu-malu menerimanya
Kau adalah simplicity and love
Kuharap itulah sebabnya kau berhijab
Selain tentu saja untuk mencegah kedosaanku lebih lanjut
karena terus mencuri pandang gerai rambutmu

3.Jogjakarta

Lebih baik kuhindari bertutur tentang kota ini
Lebih baik kau berkunjung sendiri dan mengejanya
Ada banyak jalan kenang yang harus kuhindari

Ya di sini aku pertama kali berani pacaran
Tak lagi gemetar seperti ketika ditaksir anak gadis orang waktu SMP
Atau hanya berani curi pandang gadis berambut panjang dari balik tembok kelas di SMA

O ya, sebelum lupa
Kalau ke Jogja sempatlah mampir makan malam di alun alun Sewandanan Pura Pakualam
Tempatnya asyik untuk pacaran

4.Osaka

Aku pernah tertegun di kota ini
Mungkin tak semendebar yang kau rasa ketika menelusuri Seoul
Kota yang kau ingin selalu kembali kunjung bertandang

Tidak di bandara kansai yang keren
Tidak oleh poster poster gembong yakuza di papan papan kota
Tidak oleh subway nya yang membuatku cemburu pada Jepang
Tidak oleh wangi yakiniku di tepi kali Yodo
Tidak oleh mabukku menegak bergelas bir
Tidak oleh bar-girl di café lantai 22 hotel Granvia yang senyum manisnya
Mengantar segelas bloody-marry

Tertegunku ada di lobby hotel
Atas tubuh tua seorang gelandangan berbalut kain rombeng tebal
Yang berbaring tidur dengan takzim
Mengingatkanku pada Minkebo
Gelandangan legendaris salatiga

5.Sinciapo

Namanya dulu Tumasik
Kau mengenalnya sebagai Singapore
Kawan kawan cina ku menyebutnya Sinciapo

Di trotoar jalan Orchard yang lebar nyaman tak terkira
Ada bangku beton yang entah berapa juta pantat pernah mampir duduk
Kalau sempat ke sana duduklah di bangku itu
Siapa tahu aku pas di sana juga
Dan kita bisa duduk berandeng
Dan aku bisa dengar kau bertutur tentang kota-kota yang menggetarkanmu
Karena aku bisa membacanya dari gurat wajahmu

Batam, 19 Juli 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here