Menjadi dengan Berbagi

Tulisan dengan judul “Menjadi dengan Berbagi” ini dibuat oleh Mas Dedy Tri Riyadi, seorang penyair, cerpenis, dan praktisi iklan; dan disampaikan dalam acara Ngopibuku tanggal 25 November 2017 lalu. Pada kesempatan ini, hadir juga Mbak Olivia Elena, editor majalah Sunday. Karena Mbak Olivia tidak menuliskan ulasannya, saya hanya membagi tulisan Mas Dedy saja. Ulasannya keren. Saya salut dengan pembacaannya yang sangat jeli. Terima kasih, mas. 🙂

Ketika mendengar bahwa buku yang hendak saya bedah adalah sebuah kumpulan esai karya seorang dosen sastra, saya sebagai seorang yang belajar sastra tidak dari bangku kuliah merasa sangat tidak pantas. Meskipun saya juga seorang praktisi di bidang periklanan dan sudah berkecimpung cukup lama di bidang tersebut, saya masih belum yakin dengan kemampuan analisis yang saya punyai. Perlu diketahui bahwa untuk urusan pemasangan iklan harus memperhatikan tiga hal yaitu; produk itu sendiri dikaitkan dengan pasarnya, kompetisi antar produk sejenis di dalam pasar, dan pengguna dari produk tersebut ditinjau dari psikografi, preferensi, dan afinitas dari media-media yang akan ditempeli dengan iklan produk tersebut. Meskipun banyak faktor dalam hal pemasangan iklan, tetapi saya terbantu dengan perangkat dan data sehingga membuat strategi pemasangan iklan tidaklah sesulit membedah sebuah buku. Apalagi sebuah kumpulan esai.

Esai, secara ringkas, adalah tulisan yang disertai pendapat penulisnya. Nilai sebuah esai tentulah tidak semata-mata bagaimana ia dituliskan, tetapi juga yang harus dinilai dalah pendapat yang tertuang dalam tulisan itu. Membaca empat puluh sembilan esai yang tersaji di dalam buku ini hal yang pertama saya tangkap adalah kejelian dari seorang Bu Tamtam, begitu penulisnya disebut oleh temannya dalam satu esai di buku ini. Betapa tidak, semua hal bisa tiba-tiba menjadi sumber inspirasi untuk dia menulis. Semisal dalam suatu perjalanan ia mendengar seseorang kesulitan menyampaikan sesuatu karena tidak bisa berbahasa Indonesia ataupun Inggris, itu bisa jadi satu tulisan.

Selain kejelian, yang terbaca dari tulisan-tulisan ini adalah fokus pada hal yang tadi menjadi pemantik esai tersebut. Tidak mengait ke hal-hal lain, tetapi tetap menyoal satu hal saja. Karena fokus itu, pembaca seolah benar-benar dituntun untuk satu demi satu langkah masuk ke kedalaman dari hal itu. Ada ketenangan di sana. Dan terakhir, ini mungkin menyinggung soal integritas dari seorang dosen sastra adalah mumpuni dengan beragam teori yang dikuasainya. Referensi atau teori jadi semacam penguat pada pendapat yang ditekankan pelan-pelan sehingga tidak terasa menyulitkan pembacaan.

Yang saya bayangkan ketika membaca kumpulan esai ini adalah seorang yang jika mengacu pada Hirarki Kebutuhan Maslow sudah berada puncak piramidanya. Seseorang yang memerlukan aktualisasi diri, khususnya pada hal yang berhubungan dengan kreativitas. Namun, jika melihat bahwa secara pengalaman Bu Tamtam ini sudah berpengalaman mengajar, aktif menulis di blog, di media sosial, rasanya aktualisasi diri pun sudah terlampaui.

Sampai titik ini, saya sulit menemukan tautan kisah yang menarik selain pada Injil Perjanjian Baru di mana seorang pemuda, kaya, taat pada agama, hafal kitab suci, bertanya pada Sang Guru, apalagi yang harus dilakukan olehnya? Jawab Sang Guru, ambil semua hartamu, bagikan kepada mereka yang membutuhkan, lalu pergi untuk mengikuti aku. Pemuda itu pun merasa sedih, karena ia tidak ingin kehilangan hartanya. Kebalikan dengan pemuda itu, yang sedang dilakukan oleh seorang Nur Utami Sari’at Kurniati adalah apa yang diperintahkan oleh Sang Guru yaitu membagi-bagi hartanya, yaitu ilmu pengetahuan yang ia miliki.

Ada banyak hal yang tentu saja berkaitan dengan ilmu bahasa dan kesusastraan yang bisa pembaca dapatkan, paling tidak judul-judul buku yang bisa dipelajari, ketika membaca kumpulan esai ini. Namun jika tidak ingin mencari hal-hal demikian, perhatikan saja bagaimana penulis mendapatkan inspirasi untuk menulis. Ini bisa jadi contoh baik untuk mencegah atau mengalahkan writer’s block.

Belum lagi soal detail dan fokus pada sesuatu yang diulas, itu juga bisa jadi pembelajaran jika ingin mengulas sesuatu. Jika ingin belajar mengkritik sesuatu, penulis juga seolah mengatakan tidak perlu mengubar terlalu banyak teori untuk membahas satu hal. Secukupnya saja. Ini menarik karena jika membahas karya sastra biasanya yang terjadi pada penulis lain akan jor-joran mengumbar aneka macam teori atau pendekatan.

Yang belum dibahas mungkin adalah soal isi. Saya yakin sekali bahwa penulis itu mampu menulis hal-hal yang lebih besar, lebih pelik, lebih punya potensi konflik untuk dibincangkan, dengan bahasa yang berbeda, penulis seolah lebih memilih hal-hal yang nyaris tidak diperhatikan. Saya tidak bilang tidak ada peristiwa besar dibahas dalam buku ini, tetapi sudut pengambilan masalahnya berbeda dengan kebanyakan orang serta pembahasannya tidak terlalu meledak-ledak. Katakanlah tentang kebiasaan twitwar atau saling serang di media sosial, penulis hanya mencatatkannya sebagai, “ternyata mulut dan jari tak ada beda.”

Entah karena penulisnya seorang ibu, seorang perempuan, maka diksi-diksinya terasa lembut? Tetapi saya merasa bukan itu penyebabnya. Saya lebih memilih bahwa pemahaman akan bahasa serta integritas penulis sebagai dosen (ilmuwan) yang membuat gaya bahasa dalam esai-esainya terkesan lembut dan sopan.

Seperti saya kemukakan di atas, kumpulan esai ini adalah sebuah pekerjaan mulia yaitu berbagi pada sesama yang dilakukan penuh kesadaran oleh penulisnya. Lewat buku ini, pembaca bisa menyerap mungkin sedikitnya 15% dari pengajaran di bidang linguistik tanpa harus mengikuti kuliahnya. Buku ini juga mengajarkan kita untuk selalu awas, memperhatikan hal-hal kecil dan menghubungkannya dengan keilmuan kita atau profesi kita.

Secara spesifik, saya patut berterimakasih, karena kebetulan saya juga sedang mencari format tulisan seperti apa untuk bisa menceritakan pekerjaan yang sudah saya jalani lebih dari 15 tahun ini dan rasanya format kumpulan esai yang mencatat hal-hal yang dekat dengan kita sehari-hari ini bisa dan sangat layak untuk ditiru.

Jakarta, November 2017

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here