Kalau dulu merdeka dan mati merupakan dua pilihan yang tentu saja harus kita pilih, sekarang merdeka dan mati adalah konsekuensi yang harus dijalani. Keduanya. Kita merdeka tapi pada saat yang bersamaan kita juga sedang menuju ke arah kematian. Tentu saya tidak sedang membicarakan kematian dalam arti harfiah karena kata merdeka menyiratkan makna bahwa kita hidup, bukan?
Dengan kemerdekaan yang kita miliki saat ini, banyak hal yang mau tidak mau ikut berkembang dan bahasa adalah salah satu di antaranya. Bahasa Indonesia bukan lagi menjadi bahasa yang mendominasi komunikasi di wilayah negara Indonesia. Bersama bahasa lain, baik bahasa daerah maupun bahasa asing, bahasa Indonesia dipakai dalam berbagai peristiwa tutur. Dari situasi formal sampai santai, dari ragam lisan hingga ragam tulis. Pemakaian kosa kata dari bahasa daerah terlihat, misalnya, dari pemakaian kata kedatangan dalam kalimat “Hari ini kita kedatangan tamu ….” Sedangkan pemakaian kosa kata bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris, sudah tidak perlu dipertanyakan. Media cetak dan elektronik dan karya sastra dewasa ini banyak memakai kosa kata dari bahasa asing.
Fenomena pemakaian campur kode seperti di atas disebabkan oleh beberapa faktor: peserta tutur atau tokoh dalam cerita, situasi yang informal, menjaga gengsi, kebiasaan dan kemudahan, topik pembicaraan dan penguasaan bahasa seseorang. Karena dalam tulisan ini, saya hanya akan mengulas pemakaian bahasa dalam novel Unbelivable karya Winna Efendi, saya akan mencoba mengaitkannya dengan konteks cerita.
Karena novel ini adalah novel remaja, para tokoh dalam novel ini dikategorikan sebagai remaja. Kawan tutur mereka pun teman-teman sebaya. Remaja identik dengan penggunaan bahasa tidak baku, sehingga para tokoh melakukan campur kode dalam kalimat yang dituturkannya, seperti dalam kalimat “Jadi tuh cowok nangis gitu di Starbucks? Talk about pathetic” (hlm. 16).
Situasi informal memungkinkan seseorang memakai campur kode, misalnya dalam kalimat “Jadi nggak ikut nyalon dong? Yaaahh. Kayaknya lo udah butuh haircut baru deh, Ad, your bangs need serious trimming” (hlm. 18).
Campur kode bahasa Inggris digunakan oleh penutur bisa menunjukkan diri bahwa penutur menguasai bahasa asing dan oleh karenanya memiliki rasa bangga. Mereka berpikir kalau berbicara tidak diselingi oleh kalimat atau kata dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, pembicara khawatir dianggap tidak termasuk kaum intelektual atau tidak internasional. Contoh dalam cerita adalah “Saat itu, keluargaku memang sedang berencana untuk pindah base ke Indonesia” (hlm. 40). Tokoh menggunakan bahasa Inggris dengan tujuan ingin menunjukkan kelas sosial tokoh yang tinggi. Contoh campur kode lainnya adalah grade, cast, cinema, clique, brand, dessert, lunch, dignity, date, conversation, pendant, verdict, nerdy, gross, deviant, pathetic, smug, lust, di-escort, slingbag, payback, outfit, dan air kiss.
Kata-kata serapan dalam bahasa asing terkadang tidak ada padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia seperti pada contoh situasi tutur berikut ini di acara IshshI. “Acara IshshI sudah hampir dimulai. Belasan model sudah berkumpul untuk menampakkan diri satu-per satu menampakkan diri di runway. Semuanya dirias ala gothic, memakai topeng….” (hlm. 174). Situasi tutur di sini menggunakan kata gothic yang bukan berasal dari bahasa Indonesia, akan tetapi pembaca dapat menebak apa itu gothic tanpa tahu padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Hal itu juga bisa membuat campur kode bisa terjadi, antara lain please, cardigan, jeans, hall, thriller, gothic, ballroom, dan popcorn.
Faktor kebiasaan ini muncul karena tokoh lebih dulu mengenal kosa kata dalam bahasa Inggris daripada padanan kata dalam bahasa Indonesia dan lebih mengingat kosakata dalam bahasa Inggris. Dalam kalimat “Buru-buru, aku menghapus SMS tersebut, lalu bersandar pada wastafel dengan pandangan berkunang-kunang (hlm. 34), kata SMS lebih dikenal dibanding padanannya dalam bahasa Indonesia.
Ada campur kode yang terjadi dalam novel Unbelievable yang digunakan para tokoh karena lebih mudah atau lebih suka menggunakan kosakata bahasa Inggris daripada padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Hal ini bisa saja karena menyebutkan kosakata dalam bahasa Inggris lebih singkat dibandingkan kosakata bahasa Indonesia, misalnya dalam “Ketemu orang-orang yang fun dan eksentrik selama pemotretan, make up dan hair stylist yang nggak pernah akur dan selalu berantem….” (hlm. 84). Kata fun lebih mudah digunakan, karena kata fun mempunyai banyak arti, tidak melulu mempunyai arti senang, tapi bisa lucu, dan lain-lain.
Campur kode bisa terjadi karena adanya topik yang sedang dibicarakan menyangkut bidang atau hal tertentu. Misalnya saja topik pembicaraan menyangkut tentang perangkat praktis (gadget) atau komputer, maka akan digunakan kosakata bahasa Inggris (bahasa standar yang digunakan dalam gadget atau computer) yang ada dalam perangkat itu. Kalimat “Hi gurls, chatting kok nggak ngajak- ngajak?” adalah contohnya. Situasi tutur ini menunjukkan adanya penggunaan campur kode yang digunakan pada bidang tertentu yaitu percakapan dalam gadget yang di dalamnya memang menggunakan kosa kata bahasa Inggris. Kata lain yang muncul adalah blog, file, entry, upgrade, online, ignore, invite, di-reject. Jika topik pembicaraan seputar salon atau mode, campur kode yang terjadi pada kata suede, animal prints, manicure, massage, dan fashion.
Bagi orang yang menguasai bahasa Inggris seperti para tokoh dalam novel, mereka akan jauh lebih sering menggunakan kosa kata dalam bahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa Indonesia, dan mengerti tentang tata bahasanya, seperti yang ditunjukkan pada kalimat “Is that a threat?” (hlm. 33). Terlihat bahwa para tokoh memang menguasai bahasa Inggris yang juga menguasai tata bahasa dengan baik. Beberapa contoh lain adalah sense, joke, dress, smile, miss, right, audience, belt, gap, advice, job, blank, innocent, base, fun, so, even, strict, curious, stuck, psycho, desperate, great, nice, face, evil, perfect, private, wait, start, really, prefer, overlimit, billboard, hangout, reality show, ber-headband, blushing-blushing, di-drop.
Di era globalisasi yang mengaburkan batas ruang dan waktu, pemakaian bahasa Inggris sudah dianggap biasa. Akan tetapi hal ini bukan merupakan alasan melupakan atau tidak ingin tahu padanan kata bahasa Indonesia. Berapa banyak dari kita yang memakai kata unduh alih-alih download, unggah alih-alih upload?
Jika tidak dicermati penggunaannya, campur kode seperti di atas bukan tidak mungkin menyebabkan bahasa Indonesia sekarat dan akhirnya mati. Kalau sudah begitu, benar bukan judul tulisan di atas: kita merdeka tapi bahasa kita mati!
itu terjadi karena dominasi bahasa, yang didahului oleh dominasi-dominasi yang lain. jika tidak ingin didominasi, maka mendominasilah.
===================
ayo kita berubah
halo mas ahmad musyrifin .. :benar sekali