Judul tulisan ini adalah jawaban yang saya pilih ketika minggu lalu kami berkunjung ke rumah seorang sahabat, Idang Rasjidi, dan seperti biasa selalu ada diskusi hangat. Pilihan ada dua: mewarnai globalisasi atau diwarnai globalisasi. Dan, saya beserta beberapa teman memilih yang pertama. Itu artinya mengikuti arus tanpa harus kehilangan jati diri. Kurang lebih begitu. Bincang hangat itu berlanjut Jumat malam (26 April) bertepatan dengan hari ulang tahunnya, hingga dini hari.
Perbincangan dalam dua pertemuan itu mengangkat banyak hal, dan hampir semua yang dibicarakan sangat mungkin implementasinya dilakukan sesuai kapasitas kami masing-masing. Bagi saya, dialog minggu lalu mengingatkan peristiwa yang selalu terjadi di ruang kelas. Kami diskusi mengenai pelafalan dalam bahasa Inggris yang direpresentasikan dalam dialek yang beragam. Sangat beragam. Namun sayangnya, banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Inggris hanya dilafalkan dalam dua variasi: British English (BrE) dan American English (AmE). Bahkan, sampai saat ini saya masih sering menerima pertanyaan “Bahasa Inggris yang diajarkan itu British English atau American English?”.
Tak banyak yang menyadari, selain kedua dialek itu ada banyak dialek lain dengan ciri khas masing-masing. Dan, selama tidak ada salah paham dalam komunikasi seharusnya dialek mana pun yang kita pakai tak jadi masalah. Bukankah tujuan utama suatu kegiatan komunikasi adalah tersampaikannya pesan di antara partisipan yang terlibat dalam kegiatan itu?
Tersampaikannya pesan (intelligibility) dan pelafalan mendekati penutur jati (native-like) seharusnya menjadi pertimbangan tujuan pengajaran bahasa Inggris di negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama, termasuk Indonesia. Kedua tujuan itu bisa tercapai, salah satunya dengan menempatkan salah satu pada prioritas yang lebih tinggi. Dengan intelligibility sebagai tujuan pengajaran lafal, pembelajar tidak menanggung beban yang berlebihan sehingga proses belajar menjadi sesuatu yang menyenangkan. Toh, walaupun demikian mereka tetap harus terus memperbaiki pelafalan mereka karena komunikasi yang berhasil salah satunya didukung lafal yang benar (Celce-Murcia, Brinton & Goodwin, 1996).
Bagi saya, menjadi orang Indonesia denganbahasa Inggris yang mudah dimengerti orang lain lebih nyaman dan menenangkan. Ini juga sejalan dengan cerita salah seorang tamu di acara Jumat malam itu, Nik Azmi, yang datang jauh-jauh dari Malaysia. Nik adalah founder World Youth Jazz Festival. Dia menuturkan bahwa dulu, dulu sekali, ketika bangsa Inggris menduduki Malaysia, mereka menerapkan aturan penguasaan bahasa dan budaya lokal (Malaysia) sebagai syarat pengangkatan seseorang menjadi pegawai negeri. Aturan ini membuktikan bahwa mereka menghargai keberadaan penutur yang bahasa pertamanya bukan bahasa Inggris.
Sudah waktunya membuka mata bahwa ada variasi selain British English dan American English. Di luar kedua variasi itu ada Taglish (Tagalog), Spanglish (Spanyol), Jamlish (Jamaika), Tamlish (Tamil) dan masih banyak lagi (Barrett, 2006). Bahkan ada juga Indoglish, yaitu bahasa Inggris yang dipakai oleh penutur yang berbahasa ibu bahasa Indonesia, seperti saya dan Anda.
Aku suka perspektifnya dlm membahas topik ini. Rasanya warna sastra mulai nampak, sedikit