Mudik dan Bahasa Daerah

Lebaran tiba, mudik pun tiba. Itulah yang kita pahami sekarang. Padahal konsep mudik adalah: (1) (berlayar pergi, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman); (2) (cak) pulang ke kampung halaman (KBBI, 2005: hlm 758). Pergeseran makna ini juga terlihat dalam karya sastra yang terbit sampai awal tahun 1970-an. Pada masa itu mudik belum dimaknai sebagai pulang ke kampung halaman yang kaitannya dengan hari raya Iedul Fitri atau Lebaran.

Terdapat beberapa alasan pergeseran makna mudik. Faktor penyebab konsep mudik bermakna pulang ke kampung halaman dalam rangka hari raya lebaran di antaranya (1) kemajuan Jakarta sebagai kota metropolitan yang menjadikannya sebagai pusat orientasi dalam perkembangan perkotaan di Indonesia, (2) Jakarta sebagai kota impian kaum udik dan hal ini merangsang arus urbanisasi ke Jakarta semakin meningkat, (3) Jakarta menjadi kota penampungan kaum udik: satu kaki di Jakarta dan satu kaki di kampung halaman, dan mereka ingin menunjukkan keberhasilannya kepada sanak saudara di kampung (Mahayana, 2011).

Di negara lain, Korea dan Amerika misalnya, mudik sudah tidak lagi memiliki makna pulang ke kampung halaman karena para orang tua sudah pindah ke kota. Mereka sesekali mengunjungi orang tua mereka namun tidak selalu dilakukan pada saat lebaran.

Terkait dengan masalah bahasa daerah, ritual mudik dapat menjadi salah satu cara mempertahankan keberadaannya. Dengan mudik, tali silaturami antara beberapa generasi akan tersambung. Pada peristiwa seperti ini sangat besar kemungkinan mereka berkomunikasi secara nyata dalam bahasa daerah, meskipun tidak tertutup kemungkinan dipakai juga bahasa lain (bahasa Indonesia dan bahasa asing) karena terjadinya perkawinan campuran.

Dalam hal perkawinan campuran, baik antarsuku atau antarbangsa, bahasa yang dipergunakan kemudian menjadi lebih dari satu. Mereka menjadi dwibahasawan dengan penguasaan beberapa bahasa yang setara maupun tidak setara.

Dengan perkembangan bahasa daerah yang sangat mencemaskan dewasa ini, yaitu dari 742 bahasa daerah di Indonesia hanya 13 bahasa yang penuturnya di atas satu juta orang, bahasa daerah akan mati lebih cepat dari yang kita duga. Apalagi bahasa yang terancam punah adalah bahasa yang tidak memiliki sistem tulisan. (Lauder, 2008). Terkait dengan hal ini, Gunarwan (dalam Syahirul, 2007) memprediksikan kepunahan sebuah bahasa berlangsung cukup lama, yakni sekitar 75-100 tahun atau selama tiga generasi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh akademisi UNS (Subroto, 2007) diketahui bahwa jumlah bahasa daerah yang rawan punah sangat banyak. Sedikitnya 700 bahasa daerah bisa punah dalam waktu sesaat jika tidak ada upaya untuk merawatnya. Bahkan, bahasa daerah suku besar seperti Jawa dan Sunda juga bukan tidak mungkin akan terancam punah jika jumlah penuturnya makin berkurang.

Pergeseran pemakaian bahasa juga terjadi di beberapa negara tetangga. Di Singapura semakin banyak orang yang meninggalkan bahasa ibunya masing-masing dan beralih ke bahasa Inggris untuk percakapan sehari-hari. Dengan adanya Speak Mandarin Champain, warga Singapura yang semula berbahasa Hokkien dan Teochew beralih ke bahasa Mandarin. Di Malaysia, etnis China juga mengalami hal yang sama. Di Thailand, bahasa daerah dibatasi penggunaannya terutama sejak adanya kebijakan Thaifikasi. Di China, walaupun bahasa nasional adalah bahasa Mandarin, tapi pemerintah masih memberi perhatian terhadap bahasa daerah, misalnya digunakannya bahasa Mandarin dan bahasa daerah dalam dokumen resmi pemerintah dan media masa lokal.

Terkait dengan pelestarian bahasa daerah, perlu adanya upaya pembalikan pergeseran bahasa. Langkahnya tak cukup hanya dengan pengajaran bahasa daerah yang selama ini dilakukan di instansi-instansi pendidikan. Harus ditumbuhkan kesadaran mengenai ancaman kepunahan bahasa daerah dan menjadikannya sebagai alat komunikasi keseharian.

Dalam upaya mewujudkannya, diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Selain pihak pemerintah melalui instansi pendidikan, pemakaian bahasa daerah juga sangat terbantu oleh kesadaran masyarakat penutur bahasa yang bersangkutan. Mereka diharapkan memakai bahasa daerah ini ketika bertutur dengan anak cucunya, walaupun hal ini bukan sesuatu yang mudah karena siswa di sekolah diharuskan memakai bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing.

Ternyata upaya melestarikan dan menghidupkan kembali bahasa-bahasa yang terancam punah ini juga dilakukan oleh negara di luar Asia. Sebut saja Amerika, sebagaimana dimuat dalam berita di situs VOA Indonesia tanggal 23 Agustus 2012 dengan judul Linguis AS Hidupkan Lagi Bahasa-bahasa yang Telah Mati. Lebih dari 500 dari sekitar 800 bahasa Amerindian (bahasa asli Amerika) kini hampir mati, atau telah punah sama sekali karena hanya sedikit orang tua yang menggunakan bahasa-bahasa itu. Linguis senior Smithsonian Institution, Ives Goddard, memperkirakan bahwa jika tanpa upaya bersama untuk menyelamatkan dan mengajarkan bahasa-bahasa kesukuan kepada kaum muda, setengah dari enam ribu bahasa yang bertahan di dunia kini akan punah dalam abad ini, atau dalam bahasa Latin disebut “mortuus”.

Masalah penggunaan bahasa daerah ini juga saya alami. Meskipun saya, dengan bahasa Jawa sebagai bahasa pertama, menikah dengan laki-laki dari suku Jawa, namun dengan tinggal di wilayah dengan bahasa Sunda menuntut saya mengajarkan bahasa Indonesia dan bahasa Sunda kepada anak-anak saya dengan pertimbangan kemudahan pergaulan mereka. Dan, karena di sekolah juga dituntut penggunaan bahasa Inggris sementara kami berdua adalah pengajar bahasa Inggris, mereka juga sesekali memakai bahasa Inggris. Dengan keadaan demikian, dalam komunikasi keseharian, bahasa daerah kami pergunakan bersama-sama dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing (Inggris).

Beberapa tahun lalu, ketika kami mudik ke Salatiga dan menikmati makan siang di sebuah warung makan, anak saya yang pada waktu itu duduk di bangku taman kanak-kanak mengatakan, “Mang, boten pakai chilli ya.” Kalimat tersebut sarat campur kode, yang terlihat dari pemakaian kata Mang dari bahasa Sunda, boten dari bahasa Jawa, pakai dan ya dari bahasa Indonesia dan chilli dari bahasa Inggris.

13 COMMENTS

  1. artikel yg sangat bagus, mengingatkan arti mudik yg sudah mengalami pergeseran. bagus nih untuk belajar kembali bahasa dan kebudayaan ..

  2. Aku baru ngeh ada 742 bahasa di Nusantara yang menyisakan 13 bahasa dawrah saja yg masih dipakai oleh masyarakatnya sendiri. Apakah kita harus menunggu nasib melangkanya kekayaan bahasa daerah?
    Aku termasuk orang yg menginsyafi bahwa pada tiap bahasa terkandung nilai dan tata moral yg bisa menjadi kekuatan bagi bangsa ini.

    • Memang tantangan berat mengenalkan bahasa daerah ke anak cucu di jaman global seperti sekarang, tapi boleh lho semakin digalakkan.

  3. Orang2 sekarang ngerasa malu klo pakai bahasa daerah.
    padahal menggunakan bhs daerah bikin kita beda dan punya kekayaan/kelebihan.
    klo saya sih bangga bisa berbahasa daerah. karena mempelajari bhs daerah itu memang sedikit sulit, terbukti wlopun dah 8 thn tinggal di Bogor, saya masih aja gak bsa menggunakan bhs sunda, kecuali ngerti klo ada yg lg ngobrol 😀

    • Benar, termasuk tata tulisnya lho. Banyak orang Jawa tulen tidak menulis bahasanya dengan benar.

  4. hampir di setiap formulir kependudukan, kita diminta mencantumkan suku bangsa. menurut hemat saya, ke depan ketika generasi ini tidak berusaha memahami kembali bahasa daerahnya, ia pun akan ragu menuliskan suku bangsanya.

    • Bahkan ada juga orang yang sudah tak bangga lagi dengan suku bangsanya.
      Terima kasih sudah berkunjung.

  5. Saya mendasari anak-anak saya dengan bahasa Jawa berikut tatakramanya namun tetap memperkenalkan bahasa nasional dan bahasa Inggris meskipun terkadang analogi bahasa sering berpatokan pada bahasa daerah. Terbukti anak saya sering bertanya bahasa Indonesianya makan untuk orang tua itu apa sebab secara Jawa ada tingkatan bahasanya.
    Bahasa sangat luas dan banyak ya ………

  6. Wah ikutan koment mba..
    Saya sendiri sekarang sedang berusaha melakukan apa yang mas ‘genthokelir’ lakukan. Mengajarkan bahasa jawa berikut tatakramanya.
    Permasalahan lain adalah juga harus mengenalkan bahasa melayu ‘suku besemah’ SumSel disaat bersamaan. Sedang bahasa inggris saya kenalkan lebih minim karena bahasa itu memang kurang saya kuasai (kapan2 berguru sama mba tami, :p). Untung suami punya basic bahasa inggris lebih kuat, jadi saya serahkan sama sang ayah,hehe
    Maka jadilah anak2 saya menggunakan bahasa campuran melayu jawa, misal “bunda, habis siram pake ageman bagus. Memang bunda nak kemane?” (Bunda habis mandi pake baju rapi. Memang bunda mau kemana?).
    Tapi itu akhirnya saya sadari, saya dan suami harus begitu, agar anak2 bisa membaur di 2 keluarga besarnya 😀
    Tapi tetap tata krama jawa yang saya tekankan. Entah kenapa, tapi belum saya temukan di daerah lain seperti tata krama jawa.

    Salam, @naizzira_

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here