Mulut

Tadi sore, di angkot, dalam perjalanan ke suatu tempat, saya mendengar seorang ibu membaca nama sebuah rumah makan yang kami lewati. Kalau pascasarjana dilafalkan [paskasarjana] dan pascabayar diucapkan [paskabayar] sudah sering saya dengar. Tapi eco raos dibaca [ekoraos], rasanya baru kali ini.

Dalam bahasa Indonesia, fonem /k/ direalisasikan oleh bunyi [k] dan tiga varian lainnya (Kentjono, 2007: 163). Ini diulas panjang lebar dalam buku Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik yang disunting oleh Kushartanti, Yuwono dan Lauder. Dari penjelasan itu, analoginya, fonem /c/ direalisasikan oleh bunyi [c]. Sayangnya, banyak yang tidak (mau) tahu. Mereka melafalkan suatu bunyi berdasarkan apa yang mereka dengar saja, atau karena alasan-alasan lain.

Lebih buruk lagi, sebagian juga menggunakannya dalam bahasa tulis. Kamu dituliskan kamoh, lagi dituliskan dengan lagik. Kalau usianya masih remaja, barangkali bisa dimaklumi. Mereka masih menjalani proses belajar yang panjang dan memang adda variasi bahasa berdasarkan usia penutur. Yang tak masuk akal adalah jika yang melakukannya adalah mereka yang sudah tak muda lagi. Ini ignorant namanya. Tak peduli.

Selain lafal dan penulisan, yang sangat layak dicermati adalah pemilihan kata. Dalam beberapa minggu ini ada peristiwa yang bisa menjadi pelajaran bagi semua: ramainya pembicaraan mengenai slogan pakaian olah raga yang diproduksi oleh Salvo tepat pada peringatan Hari Perempuan Internasional, artikel tentang pemakaian kata expat, tulisan fashion editor tentang seorang tunawisma yang membaca majalah Vogue di Paris di akun Instagram-nya, cuitan Presiden Argentina mengenai kunjungannya ke Cina, sampai komentar Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang menyebut kehidupan masyarakat Aborigin sebagai sebuah gaya hidup.

Kalau sudah begini, apakah masih bisa kita berkilah, “Mulut saya, terserah saya dong”?

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here