Dari Akasia ke Tabebuya

emakHari Sabtu lalu saya ke Sadawangi, sebuah desa di lereng gunung di perbatasan Sumedang dan Majalengka. Dari sini saya bisa menikmati semburat keemasan matahari terbit dan indahnya gunung Ciremai di kejauhan. Malam harinya ada kabar ibu kembali terserang stroke dan saya harus segera ke Salatiga, kota kecil di punggung Merbabu. Kedua tempat ini adalah rumah buat saya karena di sana mengalir air masa kecil dan berhembus angin masa muda bapak dan ibu saya.

Ini adalah serangan stroke ketiga, setelah yang pertama ketika lebaran dua tahun lalu dan kedua pada bulan Desember tahun lalu. Serangan berulang ini menyisakan afasia dan kondisi ibu menjadi sangat ringkih. Ibu juga mengalami disorientasi. Ketika ditanya mengenai apa yang dirasakannya, jawabnya selalu ‘baik’, walaupun keadaan yang kami lihat justru sebaliknya. Kepada dokter atau perawat, ibu akan mengatakan tidak sesak walaupun semalaman sama sekali tidak bisa istirahat karena sesak parah. Ibu akan bilang kakinya baik-baik saja meski sesaat sebelumnya berkata kakinya nyeri dan kesemutan.

Ibu bukan orang yang suka mengeluh. Semua sakitnya dirasakannya sendiri. Sungguh perempuan yang kuat dan tangguh. Tapi, dalam keadaan seperti itu disorientasi dan ketangguhan menjadi tipis sekali bedanya.

Dalam linguistik, ada yang dikenal dengan maksim kualitas, yaitu prinsip komunikasi dengan menyampaikan informasi yang benar dan akurat. Ini sangat diperlukan, salah satunya dalam hal medis. Penanganan akan efektif jika informasi yang diterima benar. Unsur kebenaran (truthfulness) sangat penting.

Lalu, bagaimana jika apa yang disampaikan ibu sebagai pasien dan keadaan yang sebenarnya sangat jauh berbeda? Selama ibu dirawat, ada dua cara tenaga medis di rumah sakit itu menanyakan kepada ibu.

Pertama, langsung bertanya kepada ibu. Misalnya, mereka akan bertanya, “Keluhannya apa bu?”, “Masih sesak?”, “Makannya banyak?”, “Bisa tidur?” dan ibu menjawab bahwa tidak ada keluhan, tidak sesak, makan banyak, dan bisa tidur.

Kedua, mereka menyampaikan pertanyaan serupa tapi lalu mengonfirmasikan kepada kami apakah yang disampaikan ibu itu benar. Tentu, tanpa sepengetahuan ibu.

Biasanya, cara pertama dilakukan oleh mereka yang baru pertama kali menangani ibu. Mereka yang sudah mengenal dan merawat ibu sejak sakit dua tahun lalu akan melakukan cara kedua.

Selama sembilan hari menemani ibu di rumah sakit saya melihat beberapa perawat yang bertugas silih berganti itu melakukan cara pertama. Pasien yang mengalami disorientasi parah seperti ibu jangankan menjawab pertanyaan macam-macam, membedakan tangan kanan dan kiri saja membuatnya frustasi.

Di sana, di kota kecil di punggung gunung itu, air masa kecil dan angin masa mudamu memberikan energi dan menyegarkan jiwamu. Dulu, ketika menemani ibu sewaktu terkena serangan pertama saya ditemani rimbun akasia, kini ada beberapa batang pohon tabebuya yang tumbuh subur di halaman rumah sakit. Sayang tidak sedang berbunga.

Sembuhlah, ibu. Tetaplah gigih seperti suburnya tabebuya itu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here