Konsep ini ada dalam bahasa Jawa. Saya tidak tahu apakah ada juga dalam bahasa lain atau tidak. Ini terjadi ketika kita memberi jauh lebih banyak dari yang diperlukan karena kesal. Bisa berupa materi (barang), bisa juga berupa reaksi dalam suatu peristiwa tutur. Semacam pelanggaran maksim kuantitas. Kira-kira begitulah menurut Grice, yang mengemukakan cooperative principle.
Contoh konkritnya seperti yang saya lihat tempo hari. Di acara buka bersama, teman saya A mendadak kehilangan selera karena respon yang diberikan oleh B. A yang belum sembuh benar dari sakit meminta tolong B membawakan teh yang sudah diseduhnya ke meja makan. B memang membantunya dengan membawa teh itu tapi seraya mengucapkan “Mangga!” dalam bahasa Jawa dan dalam intonasi yang sama sekali tidak enak didengar.
Lantas, dari mana kita tahu lawan tutur kita itu nglulu? Normalnya, kita akan merasakan pesan lain di samping representasi verbal yang kita dengar atau baca. Ada yang cepat tanggap, ada yang perlu waktu mencerna setelah beberapa waktu.
Memang tidak mudah menjawab “Tidak.” Barangkali apa yang dilakukan teman saya Kiki boleh ditiru. Dia akan mengatakan “Kiki doen’t share coffee.” Serupa dengan Kiki, teman saya Dini juga melakukannya ketika dia tidak mau berbagi makanan. Dia bilang, “Dini doesn’t share food.” Dia lebih memilih membelikan kita makanan serupa daripada berbagi makanan yang sedang disantapnya.
Jadi, ada baiknya berterus terang karena tidak semua orang menangkap pesan tersirat ini. Jika pun ada yang memahami pesan itu, belum tentu mereka peduli.
Makna ujaran yang seperti ini disebut implikatur, yang menurut Wayne A. Davies dalam bukunya Implicature: Intention, Convention, and Principle in the Failure of Gricean Theory memang terkait erat dengan pelanggaran maksim kuantitas, selain maksim cara tentunya. Maksim cara berhubungan dengan bagaimana cara kita menyampaikan sesuatu. Jadi, kalau kalimat “Mangga!” di atas itu disampaikan dengan cara yang lebih baik, tentu akan lain ceritanya.
Ini penting, karena ada kalanya implikatur juga dianggap tidak sopan. Penjelasannya bisa dibaca di banyak buku, di antaranya dalam The Handbook of Contemporary Semantic Theory (Mark Batlin dan Chris Collin) dan Impoliteness: Using Language to Cause Offense (Jonathan Culpeper). Dalam bukunya ini, Culpeper mengutip pernyataan juri American Idol Simon Cowel sebagai contoh, “I think you’re amazing. Amazingly dreadful.”
Begitulah.
Nah, adakah yang mau teh seduhan saya? Mangga! Serius lho, saya tidak sedang nglulu. 🙂