Sebuah megaproyek akan dibangun di Teluk Benoa, Bali. Fasilitas yang dibangun antara lain meliputi hotel, lapangan golf, perumahan, tempat pertemuan dan lain-lain. Pembangunan fasilitas pariwisata ini akan dilakukan di teluk seluas 1.373 hektar sekaligus hutan mangrove terluas di Bali. Pulau-pulau baru seluas 838 hektar akan dibuat dengan mengeruk pasir dari tiga pantai di Bali selatan dan Lombok.
Reklamasi ini tentu membawa dampak ke banyak sisi, di antaranya budaya masyarakat setempat. Bagi warga sekitarnya, Teluk Benoa merupakan tempat untuk melarung sesaji (melasti atau nganyut), salah satu tahap saat upacara. Teluk ini juga merupakan campuhan atau tempat suci bagi warga Hindu Bali, sehingga pembangunan fasilitas ini bisa dipastikan menodai kesuciannya. Satu hal yang tak masuk akal adalah kontradiksi pembangunan fasilitas pariwisata massal dengan reklamasi ini dengan konsep pariwisata yang notabene berbasis budaya.
Bicara tentang budaya tak bisa lepas dari kearifan lokal. Kearifan lokal identik dengan keseimbangan dengan alam, yang manifestasinya bisa berupa sesuatu yang abstrak maupun konkrit (Mungmachon, 2012).Banyak entitas saling berkelindan di dalamnya. di antaranya manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seni, bahasa dan sastra daerah, filsafat dan kepercayaan, dan makanan tradisional. Kearifan lokal ini adalah ruh dalam keseharian masyarakat setempat, yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Lalu, mengapa kearifan lokal ini perlu dijaga? Mari kita lihat.
Sungsri (2009) menempatkan kearifan lokal sebagai motor yang ikut menunjang konsep belajar sepanjang hayat (lifelong learning), yang bisa diintegrasikan dalam pendidikan formal, non-formal dan informal melalui pengembangan kurikulum. Pelibatan masyarakat sejak dini dalam suatu proses budaya akan menjamin penanaman konsep dan memori jangka panjang. Bahkan, melalui diseminasi, kearifan lokal suatu wilayah juga bisa menjangkau mereka di luar wilayah tersebut.
Kearifan lokal menjamin kehidupan yang harmonis dengan alam. Pemertahanan situs atau wilayah yang menjadi tempat berlangsungnya praktik budaya tentu menjadi keharusan. Selain terkait dengan masyarakat lokal, tentu hal ini juga berhubungan dengan masyarakat global (Kasa, 2011).
Melihat begitu pentingnya menjaga budaya khususnya kearifan lokal Bali dalam beberapa konsep adatnya mengenai keberadaan tempat suci bagi umat Hindu (lihat poin 4 pada infograf berikut), reklamasi ini adalah sesuatu yang tidak perlu dilakukan.
Catatan: data dan sebagian teks juga diambil dari Panduan yang dikeluarkan oleh Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa.
Untuk informasi lebih lanjut silakan hubungi:
Website: www.forbali.org
Email: forbali13@gmail.com
Twitter: @forbali13
Facebook: /forbali13