Hari Minggu, bertepatan dengan Hari Buku Anak Internasional 2 April lalu, saya hadir di acara tayang bincang bertajuk “Mengajak Anak Menulis”, yang menghadirkan Abinaya Ghina Jamela, gadis kecil dengan buku puisinya Resep Membuat Jagat Raya. Ia hadir bersama sang bunda, Yona Primadesi. Acaranya seru. Ceritanya baru ditulis sekarang karena Senin keesokan harinya saya terpaksa ke UGD dan dilanjutkan istirahat di rumah berhari-hari karena sakit kepala hebat.
Acara ini merupakan penutup rangkaian kegiatan “Hujan Buku di Bogor” yang dilaksanakan secara marathon sejak hari Rabu, 29 Maret 2017. Kegiatan ini menghadirkan sebelas penulis dari berbagai wilayah di Indonesia, yaitu Faisal Syahreza (Bandung), M. Syarif Hidayat (Bandung), Ujianto Sadewa (Sukabumi), Zulkifli Songyanan (Jakarta), Esha Tegar Putra (Padang), Teguh Syafaat (Bogor), Dian Hartati (Bandung), Mukodas Sinatrya (Bogor), Sartika Sari (Medan), Abinaya Ghina Jamela (Yogyakarta), dan Dea Anugrah (Jakarta).
Dari semua penulis yang diundang, Abinaya Ghina Jamela adalah penulis terkecil, dengan bukunya Resep Membuat Jagat Raya. Buku ini berisi 59 puisi dengan tema beragam, namun masih berada di dunia yang sama: dunia anak. Kata-kata yang diramu menjadi puisi dan disuguhkan dalam buku keren itu berasal dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh Naya dalam dunia kecilnya.
Saya pernah menyitir tulisan Katherine Luongo-Orlando dalam bukunya The Cornerstone to Early Literacy. Childhood Experiences That Promote Learning in Reading, Writing, and Oral Language mengatakan bahwa anak-anak memperoleh kosakatanya melalui aktivitas di dunia bermain. Dikatakan dunia bermain karena sebagian besar waktu anak-anak digunakan untuk bermain dan berekplorasi. Di sinilah mereka belajar.
Masing-masing orang memiliki kekayaan kosakata yang berbeda karena dunianya berbeda. Namun, ini juga bukan satu-satunya faktor penentu. Kosakata akan bertambah jika kita senantiasa ‘lapar’ melahap, ingin lagi dan lagi. Cara memuaskan rasa ‘lapar’ ini adalah dengan membaca. Membaca, yang bukan hanya mencermati huruf-huruf dalam sebuah buku, tapi juga ‘membaca’ segala yang ada di sekitar.
Diksi si kecil Naya begitu kaya karena sejak dini ia terpapar dengan pemuas rasa laparnya itu. Segala yang disebutnya dalam puisi-puisi itu pasti dilihat, didengar, dipikirkan, atau dialaminya. Kata jagat raya, planet, tempe, pelangi, es krim, Perancis, Mowgli, Dory, Polar Express, dan semua kata dalam buku itu tidak akan digunakan jika ia tidak mengenalnya.
Mari kita baca puisi Dory Si Pelupa. Dalam puisi ini Naya merekam bahwa orang sakit alzheimer itu pelupa, langit sore berwarna jingga, anak-anak di panti asuhan kehilangan orangtua, ada binatang yang bisa berubah warna, dan supir yang sedang mengantuk sangat mungkin menabrak sesuatu.
Dory ikan pelupa
dia sangat pelupa seperti
orang sakit alzheimer
dia juga kehilangan orang
tuanya seperti anak panti asuhan
Dory bertemu Marlin dan Nemo
yang berwarna seperti langit sore hari
dia bertemu paus hitu putih
suka menabrak sesuatu
seperti supir truk yang mengantuk
Dory bertemu gurita berjantung tiga
yang bisa berubah warna seperti iguana
Mereka semua ingin ke laut lepas
Saat Dory di akuarium besar
dia tidak bertemu orang tuanya
selain warna-warna cerah seperti pelangi
Dia sedih karena jadi ikan pelupa
Dalam perjalanan proses kreatif Naya ini, Bunda Yona menyediakan bahan-bahan dan mengenalkan cara mengolahnya dengan berdiskusi dan berfantasi, lalu Naya mengolahnya menjadi hidangan yang lezat. Untuk mengasah kepekaan berbahasanya, Naya kecil diperkenalkan dengan metafora. Gambaran suara laki-laki yang ditemuinya seperti suara harimau, wafer seperti petak sawah yang kering dan tempe yang putih seperti kapas adalah sedikit dari banyak metafora yang bisa ditemui dalam buku bersampul hijau muda ini.
Sebagai chef dengan buku resepnya ini, Naya memang spesial. Ia mampu mengolah dan punya taste yang aduhai. Chef kecil ini keren, karena di usia 7 tahun ia sudah melahap buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, Ernest Hemingway dan banyak penulis hebat lain, yang bahkan sebagian dari kita orang dewasa belum pernah membacanya.
Bicara mengenai Naya ini semacam deja vu buat saya. Dulu, saya juga mengajak anak-anak mengakrabi baca tulis, dua kegiatan literasi penting yang akan menyertai sampai kita mati. Di mana pun, dalam bidang apa pun. Dengan pembiasaan, kemampuan membaca dan menulis ini sangat mungkin dikuasai.
Saya senang sekali waktu itu, ketika di usianya yang belum genap lima tahun, anak saya menulis catatan ini.
Ibuku sayang
Ibuku pintar memasak, mencuci, menyetrika.
Masakannya enak, mencucinya bersih, menyetrikanya halus.
Tahap dan perkembangan literasi setiap anak tentu tidak sama. Naya, anak saya dan anak-anak lain memiliki jalan masing-masing. Sangat mungkin mereka juga memiliki peminatan yang berbeda pula. Ada yang suka menulis puisi, ada yang lihai menulis esai. Ada yang melahap novel lebih dari 1000 halaman dalam waktu dua hari, ada yang memilih menikmatinya dengan menghemat buku itu untuk dua minggu. Namun, ada satu hal yang sama, yaitu di usia emasnya itu anak-anak punya potensi yang luar biasa. Termasuk potensi menulis.
Bravo, Naya!