Setelah membaca tulisan Indri Guli tentang daun kelor, saya jadi ingin menulis juga. Bukan tentang khasiat daun kelor untuk mengusir setan atau mantan, tapi mencoba sedikit menjawab pertanyaan di awal tulisannya. Mengapa daun yang bentuknya mungil ini dipakai berdampingan dengan kata selebar?
Relasi makna antara kata-kata yang bermakna berlawanan disebut antonim. Dalam penggunaannya, masyarakat memiliki preferensi atas kata-kata ini. Misalnya, kita mengatakan “Berapa panjang tali itu?” alih-alih “Berapa pendek tali itu?”.
Dalam semantik, kata panjang dalam kalimat itu disebut unmarked, sedangkan kata pendek disebut marked. Kata panjang menandakan bahwa kata sifat ini lebih umum dan luas cakupannya. Dengan memakai kata pendek dalam kalimat tanya itu kita sudah berasumsi bahwa tali itu pendek.
Kata panjang dan kata-kata lain dipakai dalam konteks seperti itu karena masyarakat mempunyai parameter standar (default parameter). Berapapun hasil pengukurannya, tali itu mengandung ciri ‘panjang’, bukan?
Demikian juga untuk daun kelor. Sekecil apapun bentuknya, ukuran daun ini memiliki elemen ‘lebar’. Barangkali, itulah alasannya mengapa kita memiliki peribahasa “Dunia tak selebar daun kelor”.
Pasti kita tak asing dengan beberapa frasa tinggi badan (meski ternyata tidak tinggi), berat badan (walaupun tidak berat-berat amat) atau pertanyaan mengenai seberapa jauh (meski nyatanya sangat dekat), dan seberapa besar (meski yang kita tanyakan itu kecil ukurannya), bukan?
Begitulah. Jadi, berapa banyak daun kelor yang Anda perlukan untuk mengusir sesuatu atau seseorang hari ini? 🙂
sumber gambar: indriguli.com
Waw, hahahaha.
Aku paham sih konteks yang Ibu maksud, tapi peribahasa yang kita maksud itu bermakna bahwa dunia ini luas, tidak sempit seperti daun kelor.
Kita ambil contoh kalimat lain. Misal pertanyaan “tinggi badan kamu berapa?” ditanyakan kepada orang yang nyatanya pendek. Jika jawaban orang yang ditanya “aku ngga setinggi kamu” tentu itu berarti dia pendek, begitu sebaliknya. Nah, jika kita umpamakan “dunia” sebagai “aku”, dan “daun kelor” sebagai “kamu” rasanya makna yang tebangun menjadi berbeda antara dua kalimat tersebut, padahal kedua kalimat itu menggunakan frasa yang berfungsi sama, yakni “tak setinggi” dan “tak selebar”, yang menurutku keduanya menyatakan bahwa subjek bersifat tak lebih — dari objek.
Kesimpulannya, “Aku” dalam kalimat di atas bersifat tidak lebih tinggi dari “Kamu”. Apakah “dunia” tidak lebih lebar dari “daun kelor”?
Tadi sebenarnya sudah ditulis, tapi dihapus lagi karena khawatir terlalu panjang.
Jadi begini.
Sepertinya dalam peribahasa itu ada kata yang dilesapkan, yaitu kata hanya. Jadi, versi lengkapnya adalah “Dunia tak hanya selebar daun kelor”. Pelesapan seperti ini lazim untuk percakapan dengan partisipan yang diasumsikan paham konteks yang dibicarakan. Kita tahu bahwa dunia jauh lebih lebar dari daun kelor.
Kalimat “Aku tak setinggi kamu” pun maknanya bisa berbeda tergantung konteks. Bisa jadi konteksnya faktual, bahwa si kamu ini memang lebih tinggi dari si aku, bisa juga konteksnya bercanda (humor, lucu) misalnya jika pada kenyataannya si kamu ini lebih pendek dibanding si aku.
Ada buku yang ditulis oleh Quirk et al. Buku dan contohnya memang mengenai bahassa Inggris, tapi pengertiannya sepertinya bisa kita ambil, terutama mengenai kecenderungan pilihan bahasa dalam suatu masyarakat penutur bahasa, seperti yang kutulis di atas. Misalnya, mereka mengatakan “I’m 4 years old” alih-alih “I’m 4 years young”.
Tampaknya memang semua bersifat kontekstual ya, seperti yang kita bicarakan tadi sore.
Thx, anyway, for stopping by and leaving this comment. 🙂
Got it!
Jadi si “hanya” ini rupanya kuncinya. Kalau begitu, sekarang aku paham. Sebelumnya aku memandang dari sudut yang beda sih ya. Tapi memang benar segala sesuatu itu kontekstual. Hihihi.
[…] Pernah mendengar peribahasa tersebut? Merujuk pada peribahasa yang sering ditemui dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia kala duduk di Sekolah Dasar, dulu saya pikir daun kelor itu lebar. Bukankah kata “selebar” biasanya (seharusnya) menunjukkan sesuatu yang lebar? Tapi daun kelor ternyata tidak lebar, dia kecil, sangat kecil bahkan (menurut saya) untuk dijadikan objek pembanding dengan dunia. Bukankah lebih tepat menggunakan kata “sesempit” dibandingkan “selebar” untuk peribahasa di atas? Tapi saya tidak akan membahas itu sekarang. (Pembahasan mengenai kebingungan saya itu sudah terjawab di blog Ibu Utami Utar) […]