Surat Dahlan: Totalitas Tautan antara Latar dan Bahasa

surat dahlanTerus terang, ketika selesai membaca novel ini ada yang tak terpuaskan dalam diri saya. Pemilihan diksi dalam Surat Dahlan tidak seperti karya Khrisna yang lain: Mengawini Ibu (Kayla Pustaka, 2010) dan Gadis Pakarena (Dolphin, 2012) yang lebih sarat dengan diksi memikat. Namun, dengan genre yang berbeda bukan berarti karya ini tidak enak dibaca.

Berkisah tentang masa remaja hingga dewasa awal tokoh utama (Dahlan), wajar jika novel kedua Trilogi Dahlan Iskan ini makin banyak menyajikan segala pelik hidup,dari cinta, kerinduan, perjuangan hingga pengabdian dan integritas baik kepada orangtua dan keluarga maupun kepada pekerjaan. Metafora dan simile dipilih Khrisna untuk mengajak pembaca masuk ke dalam hidup Dahlan. Beberapa kalimat berikut adalah sedikit di antaranya.
1. Bertambah-tambah dengan rindu yang rajin memilin-milin ulu hati. (h. 17)
2. Di sini harapan bagai bara yang menyala setiap saat. (h. 19)
3. Dadaku, Aisha, seperti senja, cukup lapang untuk menampung gelap dan cahaya. (h. 188)
4. Beginilah caraku menguras sunyi: menyesali diri, membasuh wajah dengan air mata, dan mengutuk keraguan yang lekat di kepala. (h. 104)
5. Pada selembar dini hari, di dalam pelukan sunyi, aku meronta-ronta dan akhirnya tak berdaya. (h. 104)
6. Keesokan harinya, tatkala matahari pagi sedang mengguyuri Kebon Dalem dengan terik sinarnya, kami siap-siap ziarah ke makam Ibu. (h. 355)

Sebagai salah satu unsur intrinsik sebuah karya, latar tak diragukan lagi memberikan sentuhan tokoh dari berbagai sisi. Latar tempat, waktu dan sosial yang padu akan menyempurnakan kehadiran tokoh.

Secara keseluruhan, kompleksitas manusia yang terwakili dalam jenis kelamin laki-laki dan perempuan dipaparkan dengan apik dalam beberapa bagian. Jika biasanya laki-laki digambarkan sebagai sosok yang menabukan air mata, Khrisna menyanggahnya dengan kalimat bahwa air mata bukan hanya untuk perempuan (h.173). Sebaliknya, anggapan bahwa hanya laki-lakilah yang boleh menyatakan cinta, ditampiknya dengan pernyataan Maryati kepada Dahlan yang secara terus terang mengutarakan isi hatinya (h. 81). Kedua hal ini tak biasa bagi sebagian masyarakat pada saat itu.

Bagi saya, nama Aisha juga sedikit mengganggu. Dengan latar waktu tahun 1970an dan latar tempat Kebon Dalem di Jawa, nama Aisah akan lebih mudah menciptakan imagi ketimbang Aisha. Nama ini senafas dengan Dahlan, Kadir, Maryati, Paijo dan semua tokoh lain.

Latar tempat dan sosial bisa sangat memperkaya muatan lokal dalam suatu karya, itu sudah pasti. Dalam ikhwal bahasa, hal ini bisa dilakukan di antaranya dengan menyisipkan campur kode, seperti beberapa kata dan ungkapan dalam novel ini: canteng, anding, bemotong, moncopai, muntal lawai, lahung, lamin, limar, tenun doyo (Dayak); wis, ngomong, mbopong, ngantuk, cilaka, ngasih, ngelindur, nyambi, mbrojol, medhok, ora isa turu kene bengi iki, ora becik nglarani atine liyan, ngemong, kabeh wong nduwe takdire dhewe-dhewe, itung-itung (Jawa), killer, lead (Inggris).

Dari sekian banyaknya campur kode dan alih kode dalam novel ini, terdapat beberapa hal yang mengganggu dalam penggunaan bahasa Jawa. Misalnya kata ngemong yang dalam konteksnya akan lebih tepat jika yang dipakai adalah kata momong. Ngemong cenderung digunakan untuk urusan hati, menjaga perasaan; sedangkan momong artinya mengasuh anak. Kata nduwe jika dalam wacana tulis (bahkan untuk cakapan dalam wacana tulis itu) dituliskan duwe. Hanya dalam pelafalan saja kata tersebut mendapatkan tambahan fonem /n/. Kata ojo seharusnya ditulis aja. Dalam bahasa Jawa, banyak kata yang dituliskan dengan huruf a dibaca seperti bunyi vokal pada kata bongsor, bodoh, kolong. Dan, bahkan untuk orang Jawa Timur yang dikenal berbahasa Jawa tidak sehalus saudara mereka yang di Yogyakarta dan Solo, dikenal bentuk honorifik untuk Tuhan. Sehingga Allah ora tau turu (h. 91) terdengar tak biasa. Allah ora tau sare lebih membawa emosi pembaca memasuki alam budaya Jawa.

Latar tempat juga diperkuat dengan penggunaan dialek. Dalam beberapa konteks, tokoh Dahlan bercakap dengan gaya bertutur masyarakat setempat. Misalnya, ketika berada di Samarinda, ia pun menempatkan kata sudah di akhir kalimat dan melafalkannya dengan tekanan meninggi di ujung kata. (h. 22)

Jika dibandingkan dengan Sepatu Dahlan sebagai novel pertama dalam trilogi ini, Surat Dahlan sudah jauh lebih baik dalam hal menyuguhkan totalitas hubungan latar dan bahasa. Jika dalam Sepatu Dahlan terdapat begitu banyak ungkapan dari bahasa Jawa yang ditulis dengan cara yang kurang tepat, dalam Surat Dahlan ini hanya ada satu dua kata saja yang mengalami nasib ini. Bahkan novel ini juga ditutup dengan ungkapan dalam bahasa Jawa “Witing tresna jalaran saka kulina”, dengan ejaan yang benar.

Semoga kelak dalam Senyum Dahlan, yang merupakan penutup Trilogi Dahlan Iskan, tautan latar dan bahasa semakin sempurna. Tak lain, tak bukan, demi kesempurnaan sosok tokoh itu sendiri.

Judul: Surat Dahlan
Penulis: Khrisna Pabichara
Penerbit: Noura Books (2013)
Jumlah halaman: 376

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here