Saya selalu suka membaca buku tentang pola pikir. Kali ini judulnya Think Like A Freak, yang ditulis oleh Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner. Menarik, karena sebelum lebih jauh membahas mengenai ini-itu, kita diajak berpikir bahwa sebelum kita tahu apa yang tidak kita ketahui akan sulit bagi kita belajar hal-hal baru. Tiga kata tersulit bagi manusia menurut mereka ini ternyata “I don’t know”, yang tidak mudah diucapkan oleh banyak orang. Perlu keberanian luar biasa untuk membuat pengakuan ketidaktahuan.
Proses belajar seseorang sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Keluarga, pertemanan dan rekan kerja membentuk pola pikir kita mengenai sesuatu. Dan, proses ini diperkuat dengan adanya balikan (feedback) baik positif ataupun negatif. Mustahil kita belajar tanpa balikan sama sekali. (halaman 34)
Dalam keseharian, kita cenderung hanya memperhatikan masalah jika masalah itu menyangkut kepentingan kita. Kita juga akan mengakurkan pendapat orang lain dengan pendapat kita.
We tend to pay attention to what other people say and, if their views resonate with us, we slide our perception atop theirs. Furthermore, we tend to focus on the part of a problem that bothers us. (halaman 49)
Sayangnya ini juga terjadi dalam masalah pendidikan. Orang cenderung melihat salah satu sisi saja. Jika bicara mengenai reformasi pendidikan, misalnya, kita cenderung hanya berpikir mengenai sistem dan istitusi formalnya saja. Padahal, banyak fakta yang menunjuk ke arah sebaliknya.
A mountain of evidence suggests that teacher skill has less influence on a student’s performance than a completely different set of factors, namely hoe much kids have learned from their parents, how hard they work at home, and whether the parents have instilled an appetite for education. If these home-based inputs are lacking, there is only so much a school can do. (halaman 50)
Dalam Bab 5, Levitt dan Dubner menganalogikan think like a freak seperti cara berpikir anak-anak. Dengan pengetahuannya yang masih terbatas, anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa. Mereka juga tidak terbebani dengan konsepsi-konsepsi yang diyakini sebelumnya ketika dihadapkan pada suatu masalah atau hal baru.
Think small. Masalah besar akan lebih mudah diatasi jika diurai ke dalam bagian yang lebih kecil. Hal-hal kecil ini justru sering kali tidak tersentuh ketika kita hanya fokus ke masalah besar. Perubahan pun akan lebih besar kemungkinan terjadi terhadap hal-hal kecil.
Don’t be afraid of the obvious. Ketika fokus kita bukan sesuatu yang sudah jelas terlihat, kita akan punya banyak pertanyaan yang tak pernah terpikirkan oleh orang lain.
Have fun. Kita cenderung terus melakukan hal yang kita suka. Bayangkan jika kita menyukai pekerjaan kita, pasti akan lebih menyenangkan dan hasil kerja juga akan lebih baik, bukan?
Buku ini ditutup dengan pemikiran menarik. Selama ini menyerah (quitting) dianggap sesuatu yang negatif, dan mereka memilih menyebutnya dengan kata mengikhlaskan (letting go). Kita akan menjadi lebih baik jika ikhlas melepaskan beberapa hal, seperti kearifan konvensional yang sebenarnya menyakitkan secara psikologi, batasan artifisial yang menahan kita maju, ketakutan mengakui ketidaktahuan kita, kebiasaan mengambil solusi umum yang sudah pasti akan ditempuh orang lain. Lepaskan semua ini dan lakukan sebaliknya.
Siapkah kita? Are we ready to be a freak?
Judul buku: Think Like A Freak
Penulis: Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner
Penerbit: William Morrow (NY, 2014)
Jumlah halaman: 268